Kades Gonta-ganti Sekdes? Warga Wajib Tahu Aturannya!

Halo, Sahabat DS!

Dinamika pemerintahan desa semakin menarik perhatian, terutama ketika isu pergantian sekretaris desa (sekdes) mencuat. Di sejumlah wilayah, kepala desa (kades) diketahui kerap mengganti sekdes. Alasannya beragam—mulai dari ketidakcocokan pribadi, hingga sekdes yang dianggap terlalu kritis atau “tidak nurut”.

Tapi… apakah seorang kepala desa boleh mengganti sekdes semaunya sendiri? Yuk, kita kupas bersama agar masyarakat desa makin paham aturan dan tidak mudah dikendalikan oleh kekuasaan yang menyimpang.

Tugas Sekretaris Desa

📌 Siapa Itu Sekretaris Desa dan Apa Saja Tugasnya?

Sebelum membahas pergantian jabatan, penting untuk mengenal apa itu sekdes dan perannya dalam sistem pemerintahan desa.

Menurut Permendagri Nomor 84 Tahun 2015, Sekretaris Desa adalah perangkat desa yang membantu kepala desa di bidang administrasi pemerintahan. Tugas utama sekdes meliputi:

• Menyusun kebijakan administratif dan regulasi desa.

• Mengelola administrasi umum, keuangan, dan arsip.

• Membantu penyusunan APBDes, RKP Desa, dan laporan pertanggungjawaban.

• Menata tata usaha dan dokumentasi desa.

• Menyusun laporan berkala untuk kecamatan dan kabupaten.

• Mengkoordinasikan kegiatan antarperangkat desa.

Sekdes wajib bersinergi dengan kepala desa, namun tetap harus memegang prinsip kebenaran dan hukum. Sekdes tidak boleh asal mengikuti perintah jika perintah tersebut bertentangan dengan aturan.

⚖️ Dasar Hukum: Sekdes Tidak Bisa Sembarangan Diganti!

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 50–53, diatur bahwa perangkat desa (termasuk sekdes):

• Diangkat oleh kepala desa.

• Harus melalui proses penjaringan dan penyaringan.

• Masa jabatannya berlangsung hingga usia 60 tahun, kecuali diberhentikan secara sah.

Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa sekdes hanya dapat diberhentikan jika:

  1. Meninggal dunia.
  2. Mengundurkan diri.
  3. Melanggar larangan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa.

Permendagri No. 67 Tahun 2017 juga menegaskan:

• Pengangkatan dan pemberhentian sekdes harus dilakukan secara tertulis dan transparan.

• Harus disertai persetujuan camat.

• Tidak bisa dilakukan sepihak oleh kepala desa.

• Harus ada berita acara musyawarah dan dokumen pendukung yang sah.

Jadi, jika sekdes diberhentikan tanpa prosedur yang sah, camat dapat membatalkan keputusan tersebut. Bahkan, tindakan itu bisa berujung pada proses hukum.

Apakah Ini Praktik Umum Jika Desa Sedang Ada Masalah?

Sayangnya, praktik pergantian sekdes secara sewenang-wenang sering terjadi di desa yang menghadapi konflik internal atau permasalahan keuangan.

Contohnya:

• Sekdes menolak menandatangani laporan fiktif → langsung diganti.

• Sekdes bertanya soal penggunaan dana → dianggap pembangkang.

• Sekdes dekat dengan warga dan BPD → dianggap ancaman politik.

Padahal, sekdes yang kritis dan taat aturan justru merupakan penjaga integritas desa.

🚫 Kalau Tugas Sekdes Dihalang-halangi Kades?

Ini juga banyak terjadi. Beberapa bentuk tekanan yang kerap dialami sekdes antara lain:

• Dilarang ikut rapat penting.

• Tidak diberi akses terhadap dokumen keuangan desa.

• Dipaksa tanda tangan dokumen tanpa penjelasan.

• Ditinggalkan dari struktur organisasi yang strategis.

Padahal, sekdes bukan sekadar staf biasa. Ia adalah pejabat administratif yang memiliki tanggung jawab hukum. Bila ditekan terus-menerus, bisa mengakibatkan:

• Layanan administrasi desa terganggu.

• Data dan laporan tidak akurat.

• Warga kesulitan mendapatkan hak administratif.

🔄 Langkah yang Bisa Dilakukan Sekdes dan Warga

Jika sekdes merasa ditekan atau dihambat dalam menjalankan tugasnya, berikut ini beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Laporkan ke BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
  2. Dokumentasikan semua tekanan atau pelanggaran.
  3. Laporkan ke Camat atau Inspektorat Kabupaten.
  4. Ajak warga berdialog dan mengawal secara terbuka.

🛑 Jika Kades dan BPD Sama-sama Tutup Mata, Sekdes Harus Melapor ke Siapa?

Bagaimana jika kades dan BPD justru bekerjasama menutupi semua penyimpangan?

Ini adalah kondisi serius, namun bukan tanpa jalan keluar. Sekdes bisa:

  1. Melapor ke Camat, sebagai perwakilan resmi pemerintah.
  2. Menghubungi Inspektorat Kabupaten/Kota, lembaga pengawasan internal daerah.
  3. Melibatkan Ombudsman, jika terjadi pelanggaran administratif.
  4. Mengadukan ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD).
  5. Menghubungi media atau LSM, untuk pengawalan publik.

Pastikan semua bukti terdokumentasi dengan baik, agar setiap laporan bisa diproses secara sah dan kuat di mata hukum.

Rapat Desa (Foto Ilustrasi AI)

✍️ Penutup: Desa Butuh Kerja Sama, Tapi Berdasarkan Aturan!

Hubungan antara kades dan sekdes seharusnya berjalan harmonis dan profesional. Namun, harmoni bukan berarti harus selalu setuju atau diam terhadap kesalahan.

Jika kepala desa mengganti sekdes hanya karena berbeda pendapat, apalagi didukung oleh BPD yang tidak netral, itu sudah masuk dalam pelanggaran hukum.

📢 Mari Jadi Warga yang Melek Hukum Desa!

Desa yang sehat dibangun atas dasar kejujuran, kerja sama, dan keterbukaan.

Bagikan artikel ini ke grup WA RT, dusun, atau komunitas desa agar makin banyak warga sadar: jabatan adalah amanah, bukan alat kekuasaan. (ds)

Add a Comment