Daru: Ketika Sebuah Desa Diam-Diam Berubah Menjadi Kota

— Saatnya Menimbang Perubahan Menjadi Kelurahan?

Jika kita melangkah menyusuri jalan-jalan di Desa Daru hari ini, suasananya sudah jauh berbeda dibandingkan 10 atau 15 tahun lalu. Perumahan-perumahan baru tumbuh di sana-sini seperti jamur di musim hujan. Anak-anak muda lebih banyak berangkat kerja ke pabrik, ke perkantoran, atau ke industri sekitar Tangerang. Mobilitas semakin tinggi, apalagi setelah keberadaan Stasiun Daru yang membuat desa ini terkoneksi langsung dengan jalur KRL Jabodetabek.

Namun di tengah laju perubahan itu, status Daru secara administratif masih “desa”. Padahal dari kacamata sosial, ekonomi, dan lingkungan, Daru sudah sangat jauh bergerak menjadi wilayah perkotaan.

Pertanyaannya:
Apakah sudah waktunya Desa Daru dipertimbangkan untuk menjadi Kelurahan Daru?

Artikel ini mencoba menjawabnya dari berbagai sisi: pembangunan, demografi, perubahan sosial, dan tantangan masa depan.


🌆 1. Daru yang Berubah Cepat — Tapi Pembangunannya Lamban

Salah satu keluhan paling umum dari warga adalah lambannya pembangunan jika dibandingkan dengan perkembangan perumahan yang sangat cepat.

  • Developer terus membangun kluster baru.
  • Hunian padat mulai bermunculan di pinggir jalan utama Daru.
  • Pendatang semakin banyak.
  • Kebutuhan infrastruktur modern makin tinggi.

Ironisnya, sistem pembangunan desa yang bergantung pada:

  • Musyawarah desa
  • RKPDes
  • APBDes
  • BPD
  • Proses administrasi desa yang berlapis-lapis

membuat pembangunan terasa jalan di tempat. Jalan lingkungan banyak yang masih sempit, drainase kurang, tata ruang kacau, dan pelayanan publik kadang terasa lambat karena perangkat desa harus mengurus penduduk yang jumlahnya sudah menyerupai kelurahan.

Inilah titik krusial:
Desa tidak dirancang untuk menangani persoalan perkotaan.


🏘️ 2. Semakin Banyak Perumahan, Semakin Sedikit Sawah

Ciri utama desa adalah:

  • berbasis agraris,
  • masyarakatnya bertani,
  • lahannya mayoritas pertanian.

Tetapi di Daru:

  • Lahan pertanian terus menyusut setiap tahun.
  • Banyak sawah sudah berubah menjadi perumahan.
  • Para petani senior pun beralih profesi atau lahannya dijual.
  • Generasi muda hampir tidak ada lagi yang bercita-cita menjadi petani.

Lahan desa yang dulu luas kini mulai terbagi oleh tembok-tembok rumah baru. Bahkan ada bagian desa yang suasananya sudah seperti kawasan urban padat penduduk. Ini fenomena yang tidak bisa dibantah: karakter Daru bukan lagi desa agraris.


🚌 3. Mobilitas Naik Drastis: Daru Kini Berwajah Perkotaan

Dengan adanya Stasiun Daru KRL, pola hidup warga berubah:

  • banyak pekerja komuter,
  • arus keluar-masuk penduduk tinggi,
  • banyak warga baru yang tinggal di Daru tapi bekerja di Jakarta, BSD, atau Tangerang Kota,
  • usaha-usaha kecil tumbuh sepanjang jalur akses.

Fenomena ini menggeser hubungan sosial masyarakat desa yang dulu komunal menjadi lebih individual, khas wilayah urban.

Dari sisi pembangunan, Daru membutuhkan:

  • penataan jalur pejalan kaki,
  • pengaturan parkir sekitar stasiun,
  • drainase perkotaan,
  • pengembangan layanan administrasi cepat.

Tetapi desa tidak punya struktur organisasi seperti kelurahan untuk menangani kebutuhan urban seperti ini.


🧩 4. Ketidakseimbangan: Realitas Daru Sudah Kota, Administrasinya Masih Desa

Inilah masalah utamanya.

Status Daru masih “desa”, padahal faktanya Daru sudah menjadi lingkungan perkotaan.

Perubahan ini menimbulkan ketimpangan antara:

  • kebutuhan warga,
  • kapasitas perangkat desa,
  • dan kapasitas anggaran.

Desa punya:

  • Dana Desa terbatas,
  • prioritas pembangunan yang diikat aturan pedesaan,
  • mekanisme musyawarah yang panjang,
  • birokrasi yang tidak secepat kelurahan.

Sementara Daru butuh:

  • kemampuan teknis perkotaan,
  • layanan administratif modern,
  • pembangunan infrastruktur kompleks,
  • tenaga ASN profesional.

Secara sederhana:
yang dibutuhkan Daru sudah melampaui kemampuan struktur desa.


🏛 5. Kenapa Menjadi Kelurahan Bisa Menjadi Solusi?

Berikut alasan kuat:

⭐ 1. Pembangunan bisa lebih cepat

Kelurahan dibiayai APBD langsung.
Tidak harus melalui mekanisme musdes yang panjang.

⭐ 2. Dikelola oleh ASN profesional

Pelayanan KTP, KK, surat domisili, dan lainnya jadi jauh lebih cepat.

⭐ 3. Tata ruang lebih tertib

Karena langsung dibawah kecamatan dan dinas kabupaten.

⭐ 4. Lingkungan permukiman lebih mudah ditata

Cocok untuk daerah padat perumahan seperti Daru.

⭐ 5. Lebih relevan dengan kondisi masyarakat Daru

Mayoritas warga adalah pekerja urban, bukan petani.


⚠️ 6. Tapi Ada Konsekuensi yang Harus Dipahami

  • Desa akan kehilangan Dana Desa.
  • Aset desa (tanah kas desa) menjadi aset kabupaten.
  • Jabatan Kepala Desa berubah menjadi Lurah ASN (bukan hasil pemilihan).
  • BPD dibubarkan.
  • Tradisi musyawarah desa berkurang.

Karena itu perubahan status harus melalui musyawarah serius dan kajian akademik.


🧭 7. Lalu, Sudah Saatnya Daru Menjadi Kelurahan?

Melihat:

  • laju perumahan yang terus tumbuh,
  • desakan kebutuhan layanan urban,
  • mobilitas warga yang tinggi,
  • identitas desa yang makin hilang,
  • lambannya pembangunan karena terikat mekanisme desa,
  • dan perubahan karakter sosial ekonomi masyarakat,

maka Daru secara objektif memang semakin layak dipertimbangkan menjadi kelurahan.

Ini bukan sekadar perubahan administrasi, tetapi transformasi sistem agar Daru:

  • lebih tertata,
  • lebih cepat berkembang,
  • lebih siap menghadapi pertumbuhan penduduk,
  • dan lebih proporsional dalam melayani warganya.

🌟 Penutup: Saatnya Daru Berkaca pada Diri Sendiri

Desa Daru mungkin sudah saatnya menatap masa depan baru.
Menjadi kelurahan bukan berarti meninggalkan identitas desa,
tetapi menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Perjalanan ini tentu panjang:

  • harus ada kajian,
  • musyawarah desa,
  • persetujuan BPD,
  • usulan kecamatan,
  • pembahasan kabupaten,
  • hingga persetujuan perda.

Namun setiap perubahan besar selalu dimulai dengan satu pertanyaan sederhana:

Apakah kita siap menjadi lebih baik?

Daru mungkin sudah menjawabnya lewat perubahan yang terjadi setiap hari.
Tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah menyikapinya.

Add a Comment