Whoosh, Tanah Abang Baru, dan Dilema Sinyal Tertutup Rangkasbitung

🚉 Tanggung Jawab Presiden di Persimpangan Modernisasi

Halo pembaca setia! 👋
Di tengah gegap gempita peresmian Stasiun Tanah Abang Baru dan kebanggaan nasional atas kereta cepat Whoosh, ada satu pertanyaan yang menggelitik nurani publik: Apakah modernisasi ini benar-benar menyentuh akar persoalan transportasi rel kita?

Mari kita bedah bersama, dari megahnya stasiun baru hingga sunyinya sinyal tua di lintas Rangkasbitung.

🏗️ Tanah Abang Baru: Simbol Kemajuan atau Kosmetik?

Pada 4 November 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan Stasiun Tanah Abang yang telah direvitalisasi total. Stasiun ini kini mampu melayani hingga 380 ribu penumpang per hari, dengan desain futuristik, fasilitas ramah disabilitas, dan integrasi antarjalur KRL serta MRT.

Presiden menyebut transportasi publik sebagai hak warga negara dan fondasi produktivitas nasional. Tapi di balik pidato penuh harapan, publik bertanya: Apakah modernisasi ini menyentuh sistem inti transportasi rel kita?

🚄 Whoosh: Kilat Jakarta–Bandung, Tapi Siapa yang Tertinggal?

Kereta cepat Whoosh, yang melaju hingga 350 km/jam, memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi hanya 45 menit. Proyek ini menjadi kebanggaan nasional, tapi juga memunculkan dilema finansial: utang Rp1,2 triliun per tahun yang kini menjadi tanggung jawab pemerintah.

Presiden menyebut Whoosh sebagai public service obligation, bukan semata bisnis. Namun, di tengah euforia pembangunan, muncul pertanyaan: Apakah kereta cepat ini benar-benar prioritas dibanding perbaikan sistem KRL konvensional seperti Rangkasbitung?

🚧 Rangkasbitung: Sinyal Tertutup, Risiko Terbuka

Sementara Whoosh melaju dengan teknologi tinggi, lintas Tanah Abang–Rangkasbitung masih menggunakan sistem persinyalan blok tertutup, warisan hibah Prancis pasca tragedi Bintaro 1987. Sistem ini membatasi jumlah kereta yang bisa beroperasi secara bersamaan, sehingga frekuensi perjalanan terbatas dan risiko keterlambatan tinggi.

Padahal, jalur ini melayani sekitar 200.000–250.000 penumpang per hari, menjadikannya salah satu jalur tersibuk di Jabodetabek. Tanpa sistem persinyalan yang canggih, stasiun modern pun tak akan optimal.

🆕 Penambahan Stasiun: Jatake Siap Beroperasi

Untuk menjawab lonjakan penumpang di lintas barat, PT Kereta Api Indonesia (KAI) tengah menyelesaikan pembangunan Stasiun Jatake yang berlokasi di Desa Jatake, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Proyek ini telah mencapai 93% progres konstruksi dan ditargetkan beroperasi pada pertengahan 2025.

Stasiun Jatake dirancang sebagai stasiun tiga lantai dengan konsep transit-oriented development (TOD). Fasilitasnya akan terintegrasi langsung dengan pusat perbelanjaan dan kawasan BSD City, menjadikannya titik strategis baru dalam jaringan KRL Commuter Line lintas Tanah Abang–Rangkasbitung.

Menurut Vice President Public Relations KAI, Anne Purba, stasiun ini tidak hanya menjawab kebutuhan teknis sebagai titik naik-turun penumpang, tetapi juga menjadi bagian dari perluasan layanan dan kenyamanan pengguna KRL di wilayah barat Jabodetabek.

Sementara itu, Stasiun Lumpang Parayasa dan Tenjo Podomoro belum tercatat sebagai proyek resmi dalam jaringan KRL aktif. Nama-nama tersebut kemungkinan merujuk pada kawasan pengembangan TOD atau perumahan di sekitar lintas barat, namun belum ada konfirmasi dari KAI terkait pembangunan stasiun di lokasi tersebut.

🏗️ Revitalisasi Stasiun Rangkasbitung Ultimate

Tak kalah penting, proyek Stasiun Rangkasbitung Ultimate juga sedang dikebut. Revitalisasi ini ditargetkan rampung pada Desember 2025, tepat sebelum Natal dan Tahun Baru. Stasiun baru ini akan mampu menampung hingga 83.000 penumpang per hari, jauh lebih besar dari kapasitas sebelumnya Kompas.com merdeka.com.

Selain bangunan utama, kawasan sekitar stasiun juga akan ditata ulang, termasuk area parkir dan drainase. Penataan ini diharapkan mendukung kelancaran arus penumpang dan integrasi moda transportasi di Kabupaten Lebak Radar Banten.

💸 Berapa Biaya Modernisasi Sinyal?

Hingga kini, belum ada angka resmi yang dipublikasikan oleh pemerintah atau PT KAI terkait biaya upgrade sinyal di lintas Rangkasbitung. Namun, berdasarkan proyek serupa di lintas Jabodetabek, biaya modernisasi sistem persinyalan berbasis komputer bisa mencapai Rp200–300 miliar, tergantung panjang lintasan, jumlah stasiun, dan teknologi yang digunakan.

📣 Tanggapan DaruStation: Jangan Lupakan Jalur Rakyat

Komunitas DaruStation, yang aktif mengadvokasi keselamatan dan efisiensi jalur KRL barat, menyambut baik peresmian Stasiun Tanah Abang dan proyek Whoosh. Namun mereka menegaskan bahwa:

  • Modernisasi harus menyentuh sistem inti, bukan hanya tampilan luar.
  • Sinyal blok tertutup di lintas Rangkasbitung sudah tidak layak untuk jalur dengan volume penumpang tinggi.
  • Presiden dan KAI harus segera mengalokasikan anggaran untuk upgrade sinyal, bukan hanya membangun stasiun megah atau kereta cepat.
  • Keselamatan dan keadilan transportasi rakyat harus menjadi prioritas, bukan sekadar proyek prestisius.

✍️ Penutup: Saatnya Presiden Menjawab Dilema

Whoosh dan Stasiun Tanah Abang Baru adalah langkah maju. Tapi dilema persinyalan Rangkasbitung adalah ujian nyata bagi komitmen Presiden terhadap keselamatan dan keadilan transportasi. Modernisasi harus menyeluruh, bukan kosmetik.(ds)

Jadi, Pak Presiden, setelah peresmian ini… apa langkah konkret selanjutnya untuk sinyal dan keselamatan rel kita?


Sumber:
Kompas.comKompas – Proyek Stasiun Rangkasbitung Ultimate Capai 95 Persen
merdeka.comMerdeka – Stasiun Rangkasbitung Ultimate Mampu Tampung 83 Ribu Penumpang
Radar BantenRadar Banten – Penataan Kawasan Stasiun Rangkasbitung

Add a Comment