Warga Demo Kepala Desa, Transparansi Dana Desa Jadi Sorotan Nasional

Program Dana Desa (DD) sejak pertama kali digulirkan pemerintah pada 2015 membawa harapan besar: membangun desa dari pinggiran, memperkuat ekonomi masyarakat, hingga mempercepat pemerataan pembangunan. Setiap tahun, dana miliaran rupiah turun ke desa. Namun, cerita manis itu kerap tercoreng oleh masalah klasik: minimnya transparansi, salah kelola, bahkan korupsi.

Belakangan, gelombang aksi demo warga terhadap kepala desa marak terjadi di berbagai daerah. Ketidakjelasan laporan penggunaan dana desa membuat warga geram. Spanduk dan poster dengan tulisan “Dana Desa untuk Rakyat, Bukan untuk Kantong Pejabat” menjadi simbol perlawanan warga terhadap praktik yang dianggap menutup-nutupi anggaran.


Gelombang Aksi di Berbagai Daerah

Beberapa kasus terbaru menggambarkan keresahan yang sama di berbagai provinsi:

  • Brebes, Jawa Tengah
    Ratusan warga Desa Dukuhwringin menggeruduk kantor desa. Proyek bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sudah dicairkan, namun pekerjaan tak kunjung terlaksana.
  • Majalengka, Jawa Barat
    Puluhan warga Desa Cipaku menuntut proses hukum terhadap Sekdes yang diduga menggelapkan BLT-DD senilai hampir Rp500 juta. Mereka juga mendesak kepala desa ikut bertanggung jawab karena lalai mengawasi.
  • Pati, Jawa Tengah
    Warga Desa Tlogosari menyoal alokasi Dana Desa tahap I 2025 yang dinilai tidak jelas. Tuntutannya sederhana: publikasi laporan keuangan yang bisa diakses masyarakat.
  • Tasikmalaya & Jember
    Warga di sejumlah desa menuding adanya proyek fiktif dan mark-up anggaran.
  • Aceh & Indramayu
    Isu serupa juga terjadi: kepala desa dinilai tertutup, warga menuntut audit terbuka.

Polanya sama: laporan fiktif, BLT-DD tak sampai ke warga, pembangunan mangkrak, hingga papan informasi desa yang kosong tanpa update.


Sorotan Kasus di Tangerang

Tangerang menjadi salah satu daerah dengan sorotan khusus terkait transparansi dana desa. Beberapa kasus yang mencuat antara lain:

  1. Mantan Kades Gembong
    Seorang mantan kepala desa ditangkap atas dugaan korupsi dana desa sekitar Rp1,3 miliar. Modusnya mulai dari nota palsu, mark-up, hingga pekerjaan fiktif. Uang diduga digunakan untuk kebutuhan pribadi, termasuk hiburan malam.
  2. Pencairan Ganda APBDes 2024
    Aktivis menemukan dugaan pencairan ganda dana desa di 28 desa, 13 kecamatan Kabupaten Tangerang. Operator desa, aparat kecamatan, hingga oknum DPMPD ikut terseret. Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1,2 miliar.
  3. Desa Situ Gadung
    Warga menuntut audit setelah staf desa gagal memberi penjelasan terkait penggunaan ADD. Tuntutan audit oleh BPK pun menggema.
  4. Kasus Operator DPMPD
    Seorang operator DPMPD, berinisial WA, ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan dana desa 2024 dengan kerugian negara Rp1,271 miliar.
  5. Upaya Digitalisasi Pengawasan
    Kejari Kabupaten Tangerang meluncurkan aplikasi Real Time Monitoring Village Management Funding untuk memantau penggunaan dana desa di 246 desa secara langsung.

Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa masalah tidak hanya berhenti di tingkat desa, tetapi juga melibatkan struktur lebih tinggi: operator kecamatan hingga dinas kabupaten.


Suara dan Harapan Warga

Di tengah maraknya penyalahgunaan dana desa, warga semakin sadar akan hak mereka. Transparansi bukan sekadar laporan administratif, melainkan juga kunci kepercayaan publik.

Beberapa tuntutan warga yang sering muncul dalam demo:

  1. Publikasi APBDes secara terbuka dan rutin.
  2. Pemanfaatan papan informasi desa sebagai sarana resmi.
  3. Pelibatan warga dalam Musrenbangdes.
  4. Pengelolaan anggaran bebas dari nepotisme dan kepentingan pribadi.

Jalan Warga Menuntut Hak

Bila mediasi di tingkat desa buntu, warga bisa menempuh jalur resmi, antara lain:

  • Melapor ke Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk klarifikasi.
  • Meminta Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan audit.
  • Membawa kasus ke Polisi atau Kejaksaan (Tipikor) bila ada dugaan korupsi.
  • Mengadukan ke Ombudsman RI bila terjadi maladministrasi.
  • Melaporkan ke KPK untuk kasus korupsi skala besar.
  • Menggunakan platform publik (LAPOR!, media, medsos) sebagai tekanan moral.

Penutup

Gelombang demo warga terhadap kepala desa di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Tangerang menjadi alarm keras bahwa transparansi dana desa masih jauh dari harapan. Data nasional juga memperkuat hal ini: lebih dari 600 terdakwa kasus korupsi dana desa periode 2015–2024 dengan kerugian negara mencapai Rp598 miliar, mayoritas melibatkan kepala desa dan perangkatnya.

Transparansi bukan jargon. Dana desa sejatinya bukan milik aparat, tetapi amanah besar untuk membangun desa yang lebih baik. Semakin cepat pemerintah desa membuka diri, semakin kecil potensi konflik sosial dengan warga.

Suara demo yang menggema di berbagai desa sesungguhnya bukan sekadar kemarahan. Itu adalah panggilan untuk mengembalikan hak rakyat: pemerintahan desa yang jujur, transparan, dan berpihak kepada masyarakat.(ds)

Add a Comment