Ternyata KKN Juga Dilakukan oleh Oknum Warga
|Ketika mendengar kata KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), pikiran kita biasanya langsung tertuju pada pejabat atau aparat negara. Ya, karena memang praktik kotor ini sering diberitakan di level atas: proyek triliunan yang mangkrak, anggaran diselewengkan, atau jabatan dibagi lewat jalur keluarga.
Namun, kalau kita mau jujur, praktik KKN itu juga bisa tumbuh subur di level bawah — di lingkungan kampung, bahkan di RT tempat kita tinggal.

Korupsi Skala Mini: Uang Kas RT yang Hilang
Di sebuah kampung, warga kompak mengumpulkan iuran untuk
memperbaiki jalan lingkungan. Totalnya cukup besar untuk ukuran kas RT. Tapi
setelah beberapa bulan, jalan tak kunjung diperbaiki. Ketika ditanya, bendahara
RT hanya berkata, “Sudah dipakai sebagian untuk kebutuhan lain.”
Nah, inilah bentuk korupsi skala mini. Jumlahnya tidak seberapa
dibanding korupsi pejabat, tapi tetap saja ada hak warga yang disalahgunakan.
Kolusi: Proyek Warga untuk Orang Dekat
Kasus lain, ketika ada program bantuan pembangunan pos ronda
dari pemerintah daerah. Panitia pengurus RT sudah “bermain mata” dengan
kontraktor kecil yang masih saudara dekatnya. Alhasil, material yang dipakai
berkualitas rendah. Pos ronda memang jadi, tapi cepat rusak.
Kolusi semacam ini sering dianggap biasa saja, padahal jelas merugikan warga.
Nepotisme: Kursi Panitia untuk Keluarga
Nepotisme juga sering terlihat di kampung. Contoh nyata, saat ada kegiatan lomba 17 Agustus, panitia yang dipilih selalu “itu-itu saja”, bahkan sebagian besar dari keluarga pengurus RT. Warga lain yang sebenarnya punya ide segar akhirnya tidak diberi kesempatan. Akibatnya, kegiatan terasa monoton, partisipasi warga turun, dan muncul rasa jenuh.
Kumpul-Kumpul Warga: Mencari “Orang yang Mau KKN”
Ironisnya, ada juga fenomena unik di kampung: kumpul-kumpul
warga bukan untuk musyawarah mencari solusi, tapi untuk mencari siapa yang mau
diajak KKN.
Misalnya, ketika ada proyek bantuan pemerintah, sekelompok orang berkumpul di
warung kopi sambil berbisik:
“Siapa ya yang bisa kita taruh di panitia biar gampang
cairkan dana?”
“Ah, pilih si Anu aja, dia kan gampang diajak kerja sama.”
Padahal, bukannya memilih orang yang kompeten dan amanah, justru mencari siapa yang bisa “diajak kompromi”. Inilah bentuk kolusi di level akar rumput, yang seringkali dibalut dengan istilah halus: “kerja sama” atau “nggak usah ribet, yang penting dapat bagian.”
Menurut KDM (Kang Dedy Mulyadi)
Fenomena seperti ini pernah disentil oleh Kang Dedy Mulyadi (KDM). Menurut beliau, sifat koruptif dan serakah itu bukan hanya milik pejabat, tapi juga ada pada sebagian rakyat kecil.
KDM menegaskan bahwa budaya korupsi tumbuh dari mentalitas serakah dan merasa berhak lebih banyak dari orang lain. Kalau warga sendiri sudah terbiasa kumpul hanya untuk mencari celah “curi-curi rezeki” lewat KKN, jangan heran kalau mentalitas itu juga menular ke pejabat. Bedanya, pejabat main di proyek triliunan, sedangkan warga main di proyek jalan cor-coran kampung.
Menurut Darustation, Mohamad Sobari
Pandangan lain datang dari Darustation, Mohamad Sobari. Menurutnya, KKN terjadi bukan semata karena godaan uang, tapi karena kemiskinan — terutama miskin ilmu dan miskin martabat harga diri.
Ketika orang miskin ilmu, mereka tidak tahu batas
halal-haram, benar-salah. Akibatnya, segala cara dianggap sah demi keuntungan
pribadi.
Ketika orang miskin harga diri, mereka rela menggadaikan kehormatan hanya untuk
sekadar “kebagian jatah”.
Lebih miris lagi, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang seharusnya menjadi penasehat kebenaran, justru ikut larut dalam kelompok KKN ini. Ada yang diam melihat keburukan karena takut kehilangan posisi, ada pula yang ikut “menikmati” keuntungan dari praktek tersebut. Padahal, merekalah yang mestinya menjadi benteng moral bagi warga.
Sobari menekankan: selama kemiskinan ilmu dan kemiskinan harga diri dibiarkan, KKN akan terus beranak pinak, dari level kampung sampai istana.
Kenapa Bisa Terjadi?
- Kurang transparansi – laporan iuran warga atau dana kas tidak pernah diumumkan terbuka.
- Mental permisif – dianggap wajar karena jumlahnya kecil.
- Budaya sungkan – warga malas mengkritik karena takut hubungan sosial terganggu.
- Komplotan kecil – kumpul-kumpul dijadikan ajang mencari orang yang mau diajak KKN.
- Kemiskinan ilmu & harga diri – menurut Darustation, inilah akar dari semua perilaku menyimpang.

Apa Solusinya?
Kalau kita benar-benar ingin melawan KKN, jangan hanya menyalahkan pejabat tinggi. Mari mulai dari lingkungan kita sendiri.
- Biasakan laporan transparan di setiap kegiatan warga.
- Jangan segan bertanya atau mengkritik jika ada hal yang tidak jelas.
- Pilih pengurus atau panitia berdasarkan amanah dan kemampuan, bukan karena bisa diajak main mata.
- Tokoh masyarakat dan tokoh agama harus berdiri di garis kebenaran, bukan larut dalam arus kepentingan.
Karena sejatinya, KKN bukan soal jabatan atau posisi, tapi soal mentalitas.
👉 Jadi, kalau ada kumpul-kumpul warga tapi yang dibicarakan malah soal “siapa yang bisa diajak KKN”, itu tanda bahaya. Saatnya kita balik arah: kumpul-kumpul seharusnya untuk mencari solusi bersama, bukan mencari celah untuk makan bersama.