Tausiyah: Meraih Taufik dan Taqwa di Bulan Penuh Keberkahan

📖 Kajian Sabtu Sore Bersama Ustadz M. Nuzul Dzikri, Lc., MA

📍 Masjid Nurul Iman, Blok M Square
🕔 Setiap Sabtu, Pukul 17.00 WIB – Selesai
📚 Kitab: Tadzkiratus Sāmi‘ wal Mutakallim fī Ādābil ‘Ālim wal Muta‘allim
✍🏻 Karya Imam Ibnu Jama’ah

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sebagai bagian dari umat Islam. Kita bersyukur atas setiap nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk terus memperbaiki diri di jalan-Nya. Mari kita senantiasa memohon agar Allah memperbaiki urusan hidup kita, memperbaiki keadaan umat dan para pemimpin, serta melipatgandakan pahala amal ibadah kita.

Saat ini, kita berada dalam rangkaian tiga bulan istimewa: Ramadhan, Syawal, dan Dzulqa’dah. Dzulqa’dah termasuk salah satu dari bulan-bulan haram, di mana amal shalih dilipatgandakan dan kemaksiatan lebih besar dampaknya. Dalam momen-momen ini, terdapat malam Lailatul Qadar, ibadah haji, dan hari-hari yang dimuliakan Allah. Maka jangan sampai waktu-waktu mulia ini terlewatkan tanpa amal dan ibadah.

Makna Ibadah dan Haji

Ibadah, termasuk haji, bukan sekadar ritual kosong. Ia adalah manifestasi dari ketundukan, kehinaan diri, dan pengakuan total bahwa kita hamba Allah. Dalam QS. Al-Hajj: 36, Allah menjanjikan pahala besar atas amal di bulan-bulan yang dimuliakan. Jangan sia-siakan setiap detik. Hanya orang yang mendapat taufik dari Allah yang mampu memanfaatkannya dengan baik.

Ilmu Tidak Cukup Tanpa Kerendahan dan Ketaatan

Mengetahui kebenaran tidak menjamin seseorang menjadi baik. Banyak orang tahu bahwa zina itu haram, shalat itu wajib, namun tetap melanggarnya. Sebab, ilmu tanpa cinta kepada kebenaran dan keinginan untuk tunduk hanya akan menjadi informasi yang tak mengubah perilaku.

“Orang yang paling merugi di akhirat adalah mereka yang ilmunya tidak bermanfaat.”

Mengapa ada yang sudah ngaji bertahun-tahun, tapi tetap melenceng? Karena ilmu tidak menyentuh hati. Tanpa rasa takut dan cinta kepada Allah, ilmu akan kering, bahkan bisa menjadi alasan kecelakaan di akhirat.

Rasa Rendah, Inti dari Ibadah

Ibadah yang sejati adalah ibadah yang lahir dari kerendahan dan kehinaan di hadapan Allah. Ketika kita sujud, itu bukan sekadar posisi tubuh, tapi pilihan sadar untuk menundukkan diri sepenuhnya. Ibadah bukan paksaan, melainkan pilihan seorang hamba untuk merendah kepada Allah.

Ketaatan sejati selalu berasal dari bawah — dari hamba kepada Rabb-nya. Maka, saat seseorang benar-benar taat, ia tidak akan merasa tinggi. Justru sebaliknya, rasa hina dan malu akan semakin besar, karena merasa belum mampu membalas nikmat Allah.

Iblis dulunya ahli ibadah. Namun ketika diperintahkan sujud kepada Adam, ia menolak karena merasa lebih baik: “Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)

Kesombongan ini menghapus seluruh amal ibadahnya. Maka dalam dunia dakwah, kajian, atau ilmu, jangan pernah merasa lebih tinggi karena pengalaman, hafalan, atau kedudukan. Justru kerendahan adalah ciri ahli ibadah sejati.

Cinta Sejati Melahirkan Kerendahan

Dalam dunia cinta, seseorang akan merendah kepada yang dicintainya. Begitu pula, hamba yang mencintai Allah akan senantiasa tunduk, patuh, dan merasa tidak pantas di hadapan-Nya.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa kerendahan adalah tanda cinta sejati. Ketika seseorang selesai shalat lalu mengucap, “Astaghfirullah,” itu karena dia sadar bahwa ibadahnya masih penuh kekurangan, dan ia malu kepada Allah.

Empat Rasa Rendah yang Mengangkat Derajat Seorang Hamba

  1. Sebagai makhluk Allah: kita diciptakan lemah dan hina, hanya bisa hidup karena rahmat-Nya.
  2. Dalam ketaatan: bukan karena kuat, tapi karena Allah beri taufik.
  3. Karena cinta: cinta sejati melahirkan kerendahan, bukan kesombongan.
  4. Dalam kemaksiatan: saat tergelincir, rasa malu dan hina membawa kita kembali kepada Allah.

Jika keempat rasa rendah ini menyatu dalam hati kita, maka insya Allah ibadah kita akan maksimal, jauh dari kesombongan, dan dekat dengan taufik dan taqwa.

Penutup

Taufik bukan milik orang yang sempurna, tapi milik orang yang senantiasa merasa butuh kepada Allah. Taqwa bukan tanda tidak pernah salah, tapi cepat sadar, cepat kembali, dan selalu merasa hina di hadapan Allah.

“Wahai manusia, kalian semua fakir kepada Allah, dan Allah-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang:

diberi ilmu yang bermanfaat,

hati yang khusyuk,

jiwa yang tunduk,

dan amal yang diterima.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Add a Comment