Suasana 10 Muharam di Tengah Perkampungan: Tradisi yang Tetap Hidup Meski Tanah Kian Sempit

Oleh: Mohamad Sobari

Pagi 10 Muharam di desa selalu punya nuansa yang berbeda. Udara sejuk, embun masih menggantung di daun pisang yang tersisa di pekarangan sempit, dan suara anak-anak kecil sudah terdengar dari musholla kecil di ujung gang tanah. Mereka membawa rantang berisi bubur Asyura, pisang rebus, atau sekadar kerupuk. Semua dilakukan dengan niat berbagi di hari penuh keberkahan.

Namun, di tengah suasana itu, ada kenyataan yang terasa pahit. Desa ini perlahan berubah wajah. Sawah Pak Slamet kini sudah berpagar beton. Kebun singkong warisan simbah berubah menjadi perumahan subsidi yang rapi tapi padat. Lahan pertanian semakin menyempit, dan desa ini seakan kehilangan ruangnya. Meski demikian, syukurlah, tradisi masih hidup. Warga asli tetap bertahan menjaga kearifan, meski terdesak tembok perumahan di sekelilingnya.


🌾 Tradisi yang Tak Mau Mati

Setiap 10 Muharam, para ibu-ibu desa masih bergotong royong membuat bubur Asyura — bubur penuh campuran yang dipercaya melambangkan keberkahan dan keselamatan. Anak-anak membagikan makanan ke rumah-rumah tetangga, musholla yang biasanya sepi pun mendadak ramai oleh tahlil dan doa. Semua dilakukan tanpa baliho besar atau pengeras suara. Hanya dengan semangat kebersamaan yang diwariskan turun-temurun.

Sayangnya, tak semua bagian desa bisa merasakan getaran yang sama. Ada jarak yang kian terasa, terutama di daerah yang kini didominasi perumahan baru.


🧭 Petunjuk yang Keliru, KKN yang Melenceng

Tahun ini, tim KKN dari salah satu kampus hadir. Harusnya mereka tinggal di tengah masyarakat, menyatu dengan warga desa. Namun, kesalahan petunjuk dari aparat desa membuat mereka diarahkan ke rumah kontrakan di perumahan baru di pinggir desa. Alasan yang diberikan sederhana: lebih bersih, lebih dekat jalan raya, lebih aman.

Ironisnya, para mahasiswa juga tak keberatan. Justru mereka merasa lebih nyaman tinggal di perumahan. Rumah rapi, dapur bersih, kamar mandi dalam, tak ada becek, tak ada nyamuk. Bonusnya, sinyal internet pun kencang. Akhirnya, kegiatan KKN lebih banyak berlangsung di ruang tamu layaknya seminar mini, jauh dari denyut kehidupan masyarakat desa yang sebenarnya.


🏍️ Kalau Mahasiswa KKN Mau Paham…

Seandainya para mahasiswa itu benar-benar turun menyelami kehidupan kampung, mereka akan menemukan kenyataan yang berbeda. Mata pencaharian warga desa kini sudah tidak lagi bertumpu pada sawah dan ladang. Lahan semakin sempit, sementara tidak ada industri atau pabrik yang bisa menampung tenaga kerja lokal.

Itulah sebabnya banyak warga desa beralih menjadi tukang ojek pangkalan. Bukan karena cita-cita, tapi karena memang tidak ada pilihan lain. Ketika ada proyek, mereka bisa bekerja sebagai buruh bangunan, tapi jika sepi, mereka kembali menunggu penumpang di simpang pasar desa atau dekat stasiun.

Bagi mereka yang berani merantau, kota menjadi tujuan berikutnya. Ada yang jadi sopir online, kuli bangunan, atau tukang parkir di mall. Semua demi satu tujuan: cukup untuk istri dan anak di rumah. Mereka bukan pengangguran, mereka adalah pejuang.

Sementara itu, bagi yang memilih tetap tinggal di desa, satu-satunya pekerjaan tetap yang masih dianggap “terhormat” adalah menjadi pegawai desa. Jumlahnya terbatas, dan lebih sering karena kedekatan daripada kompetensi. Tapi bagi warga, status itu masih menjanjikan masa depan yang lebih pasti.


🌱 Akar Tradisi, Harapan Desa

Suasana 10 Muharam bukan sekadar seremoni keagamaan. Ia adalah jendela tradisi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat desa tetap menjaga nilai, keberkahan, dan gotong royong — meski sawah berganti beton, ladang berganti bangunan.

Harapannya, ke depan siapa pun yang datang — entah mahasiswa KKN, peneliti, atau relawan — bisa lebih mau turun mendekati masyarakat. Tidak sekadar menyentuh permukaan, tapi menyentuh akar. Karena hanya dari akar yang kuatlah desa bisa tetap tumbuh, dan hanya dengan niat yang tuluslah pengabdian benar-benar bermakna.(ds)

Add a Comment