Shubhat Sosial: Kabut di Antara Halal dan Haram

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi melimpah, tren berubah dalam hitungan hari, dan standar hidup makin bergeser. Namun di balik itu semua, ada satu fenomena berbahaya yang makin jarang disadari: shubhat sosial.


Apa itu shubhat sosial?

🌫️ Shubhat: Antara Terang dan Gelap

Dalam Islam, “shubhat” berarti sesuatu yang samar, tidak jelas halal-haramnya, seperti berada di zona abu-abu. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun ketika syubhat itu menyatu dalam kebiasaan masyarakat, tidak lagi sekadar menjadi masalah individu, tapi menjelma menjadi shubhat sosial — kondisi di mana masyarakat menganggap sesuatu yang samar sebagai kebiasaan wajar.


⚠️ Contoh Nyata Shubhat Sosial di Sekitar Kita

1. Gaji Halal, Tapi Malas Kerja

Pekerja digaji penuh, tapi kerja asal-asalan. Datang telat, pulang cepat, main medsos di jam kerja. Orang bilang, “Ya namanya juga kantor pemerintahan.”
➡️ Gaji halal, tapi cara memperolehnya mengandung kezaliman waktu.

2. Acara Islami, Tapi Sponsornya Haram

Kegiatan dakwah dan pengajian dibiayai oleh perusahaan riba atau produk maksiat.
➡️ Kontennya mulia, tapi sumbernya problematik.

3. Beli Barang Pakai Uang Suap atau Gratifikasi

Hadiah dianggap wajar karena sudah jadi budaya dalam proyek. “Namanya juga uang lelah,” katanya.
➡️ Padahal itu bentuk penyuapan yang dibungkus adat.

4. Infak dari Penghasilan Tak Bersih

Sumbangan masjid atau yatim dari hasil korupsi atau bisnis ilegal. Diserahkan dengan bangga, bahkan diumumkan.
➡️ Amal baik dibangun dari fondasi haram.

5. Jalan Developer Diperbaiki Pakai Dana APBD

Perumahan baru rusak jalannya. Harusnya tanggung jawab developer, tapi diam-diam dialihkan ke dana publik.
➡️ Warga senang, tapi ini bentuk penyalahgunaan kewenangan secara sistemik.


🧠 Mengapa Shubhat Sosial Berbahaya?

  • 🔇 Membungkam Nurani: Ketika semua orang melakukan, kita kehilangan keberanian untuk merasa salah.
  • 🔁 Menormalisasi Kesalahan: Generasi berikutnya akan menganggap itu bagian dari tradisi.
  • 💔 Menghapus Keberkahan: Meskipun tampak sukses, tapi hidup jadi hambar, keluarga tak tenang, anak-anak jauh dari nilai.

🛡️ Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Bangun Kesadaran

Kita harus punya keberanian untuk bertanya:
“Apakah ini halal secara substansi, atau hanya halal secara tampilan?”

2. Saring Nilai Sosial

Tidak semua yang disebut “kebiasaan masyarakat” sesuai dengan syariat. Ukurannya bukan mayoritas, tapi kebenaran.

3. Perkuat Komunitas Pengingat

Dekatlah dengan majelis ilmu, komunitas dakwah, atau teman-teman yang saling menasihati. Karena hidup dalam kabut shubhat, butuh lentera kejujuran.


🧭 Penutup: Saatnya Jadi Kompas di Tengah Kabut

Fenomena “halal tapi haram” sering kali berakar dari shubhat sosial — kesalahan yang dibungkus adat dan dibiarkan tanpa kritik.
Jika kita tidak bangun dan bersuara, maka bukan hanya diri kita yang tersesat, tapi generasi berikutnya akan lahir tanpa arah.

“Yang benar tetap benar walau tak populer.
Yang salah tetap salah meski semua membiasakan.”

Yuk, jangan hanya ikut arus. Jadilah kompas yang menunjuk arah, bukan daun yang terombang-ambing oleh angin zaman.

🟢 Catatan: Tulisan ini dipersembahkan oleh Darustation — media dakwah reflektif dan konten literasi hati.

Add a Comment