Rp2,3 Miliar dari Meteran Tanah: Siasat Licik Sang Kades Cikuda Terbongkar!

📍 Bogor, Parungpanjang — Di Balik Meteran Tanah, Tersimpan Skandal

🕵️‍♂️Di tengah geliat pembangunan dan transaksi tanah yang makin marak di wilayah Parungpanjang, Kabupaten Bogor, publik dikejutkan oleh terbongkarnya kasus gratifikasi yang menyeret Kepala Desa (Kades) Cikuda. Tak tanggung-tanggung, nilai dugaan gratifikasi mencapai Rp2,3 miliar—semua berasal dari praktik penandatanganan dokumen pelepasan hak tanah.

Polisi telah menetapkan sang Kades sebagai tersangka setelah gelar perkara di Direktorat Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Jawa Barat menyimpulkan adanya unsur pidana. Proses hukum pun resmi naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan.


đź’° Rp30 Ribu per Meter: Tarif Tersembunyi di Balik Tanda Tangan

Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara, modus operandi sang Kades cukup sederhana namun efektif: ia meminta uang sebesar Rp30 ribu per meter dari pihak PT AKP sebagai imbalan atas penandatanganan dokumen pelepasan hak tanah. Jika dihitung, total gratifikasi yang diterima mencapai Rp2.333.370.000.

Siasat ini terungkap setelah sejumlah saksi dari pihak perusahaan, desa, dan warga penjual tanah dimintai keterangan. Hasilnya, sang Kades tak bisa lagi mengelak.


⚖️ Tinjauan Hukum: Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi

Dalam perspektif hukum, praktik yang dilakukan oleh Kades Cikuda masuk dalam kategori gratifikasi yang berujung pada tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi yang diterima oleh pejabat publik dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari dianggap sebagai suap.

Pasal 12B UU Tipikor menyebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dapat dipidana dengan penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

Dalam kasus ini, sang Kades diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat desa untuk memperoleh keuntungan pribadi dari proses administratif yang seharusnya bebas dari pungutan liar. Penandatanganan dokumen pelepasan hak tanah adalah bagian dari tugas pelayanan publik, bukan ladang komersialisasi.


🕌 Tinjauan Agama: Amanah yang Dikhianati

Dari sudut pandang agama, khususnya Islam, tindakan ini merupakan bentuk khianat terhadap amanah dan tanggung jawab publik. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa: 58)

Jabatan kepala desa adalah amanah yang harus dijalankan dengan kejujuran, keadilan, dan pelayanan kepada masyarakat. Mengambil keuntungan pribadi dari jabatan publik termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan), yang sangat dikecam dalam Islam.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu ia menyembunyikan satu jarum atau lebih, maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa barang tersebut.”
(HR. Muslim)

Praktik pungutan tersembunyi seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga mencemari nilai-nilai keadilan dan keberkahan dalam tata kelola desa.


🚨 Ditetapkan Tersangka dan Ditahan: Apa Selanjutnya?

Kapolres Bogor AKBP Wikha Ardilestanto menyatakan bahwa proses hukum telah berjalan sesuai prosedur. “Sudah dilaksanakan gelar perkara di Krimsus Polda Jabar dan dinyatakan ditemukan peristiwa pidana,” ujarnya.

Kasat Reskrim AKP Anggi Eko menambahkan bahwa sang Kades telah ditangkap dan ditahan. Meski belum merinci pasal yang dikenakan, pihak kepolisian berjanji akan menggelar konferensi pers untuk menjelaskan lebih lanjut.


📣 Refleksi Publik: Ketika Jabatan Desa Menjadi Ladang Uang

Kasus ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik, sekecil apapun skalanya, tetap rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Di tengah harapan masyarakat akan transparansi dan keadilan, praktik seperti ini justru mencederai kepercayaan publik.

Darustation, sebuah komunitas advokasi yang aktif dalam isu tata kelola desa dan transparansi publik, turut angkat suara. Mereka menilai bahwa kasus Kades Cikuda bukanlah satu-satunya.

“Praktik seperti ini banyak dilakukan oleh Kades-Kades lainnya. Tinggal keberanian melapor saja,” ujar perwakilan Darustation.

Pernyataan ini mempertegas bahwa reformasi birokrasi desa bukan hanya soal penindakan, tapi juga soal keberanian warga untuk bersuara dan menuntut keadilan.


📝 Catatan Penutup

Skandal Kades Cikuda bukan sekadar cerita tentang uang dan dokumen. Ia adalah cermin dari bagaimana kekuasaan lokal bisa disalahgunakan jika tak diawasi. Dari sisi hukum, ia melanggar UU Tipikor. Dari sisi agama, ia mencederai amanah dan nilai keadilan.

Semoga proses hukum berjalan transparan, dan masyarakat tetap kritis terhadap praktik-praktik serupa di lingkungannya. Karena keadilan bukan hanya tugas aparat, tapi juga tanggung jawab kolektif warga.

📌 Tetap ikuti perkembangan kasus ini dan jangan ragu untuk bersuara jika menemukan kejanggalan di sekitar Anda. (ds)

📎 Sumber: Detik.com

Add a Comment