Resensi Film: Sampai Titik Terakhirmu — Air Mata yang Mengalir Hingga Layar Padam

Tidak seperti Jumat biasanya, hari itu saya dan istri memulai perjalanan dari Perpustakaan UI. Udara kampus yang tenang, deretan pepohonan yang rapi, dan suasana intelektual membuat langkah terasa ringan. Sholat Jumat di Masjid Ukhuwah Islamiyah pun menjadi jeda yang menentramkan sebelum siang itu berubah menjadi perjalanan kecil yang penuh cerita.

Meski sudah sering melewati Stasiun Pondok Cina, baru kali ini kami benar-benar menyusuri sekitarnya. Deretan pedagang kaki lima berjejer dari pintu stasiun hingga Margonda Raya—harum manisan jambu, pastel hangat, mie ayam, batagor—semuanya menggoda dan menemani langkah kami. Ada suasana hidup di sana, sederhana namun penuh kesan.

Perjalanan berlanjut ke Depok Town Square yang terasa sepi, bahkan Cinepolis di lantai atas tampak lengang. Kami memutuskan keluar dan melanjutkan perjalanan ke Margo City, yang suasananya jauh berbeda: ramai, penuh tenant branded, dan hiruk pikuk pengunjung yang membawa energi tersendiri.

🎬 Tujuan kami jelas—XXI Cineplex lantai 3, dan pilihan jatuh pada film Indonesia terbaru:

Sampai Titik Terakhirmu

Sebuah pilihan yang ternyata membawa kami masuk ke cerita penuh haru hingga mata basah tanpa henti.


📖 Alur Cerita: Cinta, Luka, dan Perjuangan Menemukan Titik Terakhir

Film ini berkisah tentang pertemuan Shella (Mawar de Jongh) dan Albi (Arbani Yasiz), dua jiwa muda dengan mimpi masing-masing. Pertemuan mereka tidak hanya mempertemukan raga, tetapi juga hati. Masa-masa awal hubungan digambarkan manis dan penuh harapan—hangat, sederhana, namun begitu dekat dengan realitas anak muda zaman sekarang.

Namun seiring berjalannya waktu, pencapaian mimpi justru membawa keduanya ke persimpangan yang sulit. Ambisi, trauma keluarga, luka batin, dan keputusan-keputusan emosional membuat cinta mereka diuji bertubi-tubi.
Di sinilah kekuatan film ini terasa: ia memotret dinamika hubungan dengan jujur, tanpa berusaha mengglorifikasi atau mempermudah konflik.

Saat kisah memasuki babak akhir, penonton dipaksa bergulat dengan kehilangan, penyesalan, dan pertanyaan besar:
Apakah cinta cukup untuk menyembuhkan luka?
Adegan-adegan emosionalnya diramu dengan sangat kuat hingga air mata rasanya mustahil untuk ditahan.


🎭 Pemeran & Akting

  • Mawar de Jongh tampil sangat natural, memainkan Shella dengan ekspresi yang lembut namun menyimpan luka dalam.
  • Arbani Yasiz menghadirkan Albi yang rapuh sekaligus penuh tekad, menjadikannya karakter yang mudah dicintai sekaligus disayangkan.
  • Aktor pendukung seperti Unique Priscilla, Kiki Narendra, Tika Panggabean, dan Siti Fauziah memperkaya setiap dinamika keluarga dan drama yang muncul.

Kehadiran mereka membuat cerita lebih hidup dan berlapis.


🎬 Produksi

  • Produser: Andi Suryanto, Marcella Daryanani
  • Sutradara: Dinna Jasanti
  • Penulis: Evelyn Afnilia
  • Distributor: Lyto Pictures

Kualitas produksi terasa rapi, dengan tone warna yang hangat namun melankolis—cocok untuk drama penuh emosi. Musik pengiringnya juga bekerja sangat baik, menambah kedalaman pada setiap adegan penting.


💭 Kesimpulan: Film yang Menyentuh Titik Terdalam Perasaan

Sampai Titik Terakhirmu bukan sekadar drama percintaan. Ia adalah perjalanan tentang bagaimana mimpi, cinta, dan masa lalu bertemu dalam satu persimpangan yang tak selalu berjalan sesuai harapan.

Perjalanan saya dan istri dari UI, menyusuri stasiun, mencicipi jajanan kaki lima, hingga masuk ke ruang teater—semuanya seolah menjadi rangkaian menuju pengalaman emosional yang utuh. Dan ketika film berakhir, kami hanya bisa terdiam… membiarkan sisa haru itu menetes perlahan.

Jika kamu sedang mencari film Indonesia yang menyentuh hati, mengajak merenung, sekaligus menampar perasaan, film ini sangat layak ditonton. (ds)

Add a Comment