Orang Baik di Lingkungan yang Tidak Baik: Siapa yang Sebenarnya Kalah?

Ada satu pertanyaan yang sering mengusik hati: apa jadinya jika seorang yang baik berada di tengah lingkungan yang tidak baik?

Kenyataannya, sering kali orang baiklah yang “kalah”. Bukan karena ia berubah menjadi jahat, melainkan karena ia dianggap jahat oleh gerombolan orang-orang yang memang sudah terbiasa hidup dengan cara-cara buruk.

Tekanan Mayoritas yang Salah

Bayangkan, seseorang yang berusaha jujur berada di lingkungan yang penuh tipu muslihat. Orang yang menolak suap, malah dicap “tidak bisa diajak kerja sama”. Orang yang lurus, malah dituding munafik.

Di sinilah ironinya: bukan perilaku buruk yang dipermasalahkan, tapi justru kebaikanlah yang dianggap mengganggu kenyamanan mereka. Akhirnya, si orang baik seperti dipojokkan, dianggap musuh bersama.

Orang Baik di Kampung Penjahat

Sekarang, mari kita bayangkan lebih jauh. Apa jadinya jika ada satu orang baik yang tinggal di kampung para penjahat?

Ia ingin hidup tenang, jujur, bekerja dengan halal, tapi lingkungannya dikuasai oleh preman, perampok, dan penipu. Maka, orang baik itu akan dianggap “berbahaya” bagi mereka. Ia mungkin dicap mata-mata, dianggap sok suci, atau bahkan dituduh “lebih jahat” dari para penjahat itu sendiri.

Di kampung penjahat, standar kebaikan dan keburukan bisa terbalik. Yang mencuri dianggap hebat. Yang berbohong dianggap pintar. Sementara yang jujur dan lurus justru dipandang bodoh.

Orang Benar Kalau Sendiri Jadi Salah

Fenomena sosial sering kali aneh. Orang benar, kalau sendirian, mudah sekali dianggap salah. Sebaliknya, orang salah, kalau bersama-sama, bisa dianggap benar.

Itulah logika mayoritas yang menipu. Kalau satu orang menegakkan kebenaran, ia dianggap melawan arus, “tidak tahu aturan”, bahkan dijauhi. Tapi kalau sekelompok orang kompak berbuat salah, masyarakat bisa saja menganggap itu lumrah, wajar, bahkan sah-sah saja.

Padahal kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah, melainkan oleh dalil dan ketetapan Allah. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Janganlah kalian menjadi orang yang tidak punya pendirian, yang berkata: jika manusia berbuat baik, kami ikut berbuat baik; jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut berbuat zalim. Tapi teguhkanlah diri kalian: jika manusia berbuat baik, ikutlah berbuat baik; jika mereka berbuat jahat, janganlah kalian ikut berbuat jahat.”
(HR. Tirmidzi)

Hadits ini menegaskan: jangan sampai kebenaran dikalahkan oleh suara terbanyak. Karena yang ramai belum tentu benar, dan yang sendiri belum tentu salah.

Lihat dari Sisi Keilmuan Islam

Al-Qur’an: Kisah Nabi Nuh dan Kaumnya

Allah mengisahkan dalam Al-Qur’an, bagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah ratusan tahun, namun kaumnya menolak. Bahkan, beliau yang penuh kesabaran dan ketulusan justru dianggap sesat oleh kaumnya. Allah berfirman:

“Para pemuka kaumnya berkata: Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-A’raf: 60)

Ini mirip dengan orang benar yang sendirian di tengah keramaian orang salah.

Hadits: Orang Asing di Akhir Zaman

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Islam itu datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana ia datang. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.”
(HR. Muslim)

Kebenaran itu memang sering terlihat asing. Orang benar akan tampak seperti orang “salah”, sementara orang salah jika bersama-sama justru dipandang benar.

Penjelasan Ulama

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata bahwa hati manusia akan mudah terbawa oleh lingkungannya. Jika lingkungannya buruk, maka hati bisa ikut rusak kecuali yang dijaga oleh Allah.

Imam Al-Ghazali menambahkan, orang benar yang hidup di tengah orang salah harus memiliki dua kekuatan: ilmu yang mendalam dan iman yang teguh. Tanpa itu, ia akan tergerus oleh arus keburukan yang dominan.

Kisah Nyata: Bilal bin Rabah di Tengah “Kampung Penjahat Quraisy”

Bilal bin Rabah adalah contoh hidup. Ia hidup di Mekkah, di mana Quraisy tenggelam dalam kemusyrikan dan kezaliman. Ia memilih tetap benar dengan kalimat “Ahad… Ahad…”.

Di mata Quraisy, Bilal yang benar justru dianggap salah. Tapi sejarah membuktikan: kebenaran Bilal lebih abadi daripada “kebenaran semu” yang diyakini mayoritas Quraisy kala itu.

Kasus Yai Mim dan Sahara: Tabayun yang Hilang

Fenomena ini juga nyata terjadi di sekitar kita. Kasus Yai Mim dan Sahara, dua tetangga yang awalnya hidup berdampingan, namun kemudian berselisih paham hingga saling memviralkan masalah ke media sosial, jadi bukti nyata.

Yang tadinya persoalan kecil antarwarga, berubah menjadi isu nasional bahkan sampai mendunia, hanya karena tidak ada tabayun sejak awal.

Padahal, Allah sudah mengingatkan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Hujurat: 6)

Seandainya saja pihak RT dan RW setempat bisa duduk bersama, memediasi, dan mencari titik temu dari kedua belah pihak, maka masalah ini tidak akan membesar. Tidak perlu ada saling hujat di medsos, tidak ada caci maki publik, bahkan tidak perlu sampai jadi konsumsi nasional apalagi internasional.

Ulama juga selalu menekankan bahwa menjaga ukhuwah lebih utama daripada mempertahankan ego. Imam Al-Ghazali mengingatkan:

“Kerusakan hati itu berawal dari kebencian dan buruk sangka, sedangkan kebaikan hati lahir dari prasangka baik dan silaturahmi.”

Kasus Yai Mim dan Sahara menjadi cermin bagi kita, bahwa benar sendiri bisa kalah oleh suara ramai, apalagi jika dunia digital ikut membesarkan isu.

Siapa yang Benar-Benar Menang?

Apakah ini berarti orang jahat yang menang? Tidak juga. Karena kemenangan sejati bukan soal siapa yang paling banyak pendukungnya, tapi siapa yang paling benar jalannya.

Di dunia, orang baik bisa saja kalah secara posisi, reputasi, bahkan nama baik. Namun di mata Allah, kemenangan orang baik tidak pernah bisa digeser. Mereka bisa dihina di dunia, tapi dimuliakan di akhirat.

Refleksi untuk Kita

Artikel ini bukan untuk membuat orang baik merasa putus asa, tapi justru untuk menyadarkan kita semua: jangan biarkan orang baik sendirian di tengah lingkungan yang buruk. Karena kebaikan yang sendiri itu rapuh, dan bisa terkubur oleh keburukan yang kompak.

Pada akhirnya, kebenaran tidak diukur dari berapa banyak yang membela, tapi dari siapa yang paling dekat dengan Allah.

Karena yang benar—meskipun sendiri—akan tetap benar.
Dan yang salah—meskipun berjamaah—tidak akan pernah menjadi benar. (ds)

Add a Comment