Mengubah Status Tanah Girik: Antara Kebijakan Pemerintah dan Hak Atas Tanah
|Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pemilik tanah dengan status girik atau leter C untuk mengubah status tanah tersebut menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) sebelum Februari 2026. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi masalah administrasi pertanahan yang belum teratur serta mengurangi potensi sengketa lahan. Namun, kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan penting, terutama terkait dengan hak asasi manusia (HAM) dan hak atas tanah ulayat atau tanah adat. Selain itu, bagi banyak pemilik tanah girik, persoalan pengukuran lahan yang tidak sesuai atau berubah drastis menambah kompleksitas yang harus dihadapi.

Apa itu Tanah Girik dan Leter C?
Tanah dengan status girik atau leter C adalah tanah yang telah dikuasai oleh seseorang atau kelompok tetapi belum terdaftar secara resmi dalam sistem administrasi pertanahan negara dengan Sertifikat Hak Milik. Umumnya, tanah ini dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau masyarakat adat. Meski memiliki legitimasi secara adat, status girik membuat tanah ini rentan terhadap permasalahan hukum dan sering menjadi sumber sengketa.
Pemerintah Menetapkan Peraturan Baru
Melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah menetapkan tenggat waktu hingga Februari 2026 bagi pemilik tanah girik untuk mengurus perubahan status menjadi SHM. Jika tanah tersebut tidak diurus hingga batas waktu yang ditentukan, tanah akan dianggap sebagai milik negara dan diambil alih oleh pemerintah. Kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan keteraturan administrasi pertanahan.
Namun, kebijakan tersebut juga menuai kritik. Banyak pemilik tanah girik, terutama masyarakat adat, merasa bahwa kebijakan ini dapat mengancam hak-hak mereka atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun sesuai dengan hukum adat. Pengalihan status ini dianggap tidak sederhana, terutama karena masih ada masalah ketidakpastian administrasi dan biaya pengurusan yang dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat.
Masalah Perubahan Luas Lahan dan Pembatalan Proses Pengukuran
Salah satu kendala utama yang dihadapi pemilik tanah girik adalah masalah pengukuran ulang yang tidak sesuai dengan catatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Misalnya, tanah yang tercatat memiliki luas 4000 meter persegi di PBB, setelah dilakukan pengukuran ulang oleh pihak desa, ternyata hanya diakui 2000 meter persegi. Biaya pengukuran yang dikeluarkan, seperti Rp800.000 pada tahun 2020, sering kali tidak sebanding dengan hasil yang tidak sesuai. Akibatnya, banyak keluarga yang memutuskan untuk membatalkan proses pengukuran karena ketidakjelasan dan ketidakpastian.
Masalah ini bisa disebabkan oleh kesalahan pengukuran atau prosedur yang tidak sesuai standar hukum. Dalam kasus seperti ini, pemilik tanah berhak meminta klarifikasi atas hasil pengukuran tersebut dan memastikan bahwa proses yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum.
Apa yang Harus Dilakukan Pemilik Tanah?
Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemilik tanah girik untuk menghadapi kebijakan dan permasalahan ini:
- Verifikasi
Hasil Pengukuran Tanah
Pastikan hasil pengukuran tanah yang dilakukan oleh pihak desa atau lembaga terkait telah sesuai dengan prosedur BPN. Jika ada ketidaksesuaian, ajukan permintaan pengukuran ulang kepada pihak yang lebih kompeten. - Cek
Legalitas Pengukuran
Prosedur pengukuran harus didokumentasikan dengan bukti resmi. Jika prosedur tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas, Anda berhak mempertanyakan validitas pengukuran tersebut. - Tindak
Lanjut Pembatalan Proses
Jika memutuskan untuk membatalkan proses pengukuran, pastikan pembatalan tersebut dicatat secara resmi, baik melalui surat atau bukti dokumentasi lainnya. Hal ini penting untuk perlindungan hukum di masa depan. - Konsultasi
dengan Ahli Pertanahan atau Pengacara
Untuk menyelesaikan permasalahan pengukuran dan pengalihan status tanah, konsultasikan dengan ahli pertanahan atau pengacara agraria. Mereka dapat memberikan panduan lebih jelas tentang hak Anda sebagai pemilik tanah girik. - Proses
Sertifikasi Tanah Girik
Sebelum memulai proses sertifikasi, pastikan bahwa semua permasalahan administrasi dan pengukuran telah diselesaikan. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada sengketa atau masalah yang muncul di kemudian hari. - Menjaga
Bukti dan Dokumentasi
Simpan semua dokumen terkait tanah Anda, termasuk bukti pembayaran, surat pengukuran, dan dokumen pembatalan pengukuran. Dokumen ini sangat penting untuk perlindungan hukum. - Perhatikan
Hak Tanah Ulayat dan Adat
Bagi masyarakat adat, penting untuk menjaga hak atas tanah ulayat. Pemerintah perlu melakukan dialog dengan masyarakat adat untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak merugikan mereka.
Kesimpulan
Kebijakan pemerintah untuk mengubah status tanah girik menjadi SHM memiliki tujuan yang baik, yaitu menciptakan keteraturan administrasi pertanahan dan mengurangi sengketa tanah. Namun, pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merugikan hak-hak dasar masyarakat, terutama masyarakat adat. Pemilik tanah girik yang menghadapi permasalahan seperti pengukuran yang tidak sesuai berhak untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum. Diperlukan dialog yang terbuka antara pemerintah, masyarakat adat, dan pemilik tanah agar kebijakan ini dapat berjalan dengan adil dan efektif tanpa merugikan pihak mana pun. (DS)