Mengapa Media Sosial Desa Jarang Bahas Koperasi dan BUMDes?
📢 Halo, Sobat
Pembangunan Desa!
Di era digital, hampir setiap desa punya akun media sosial. Tapi coba
perhatikan: seberapa sering kamu melihat postingan tentang koperasi desa atau
BUMDes (Badan Usaha Milik Desa)? Jarang banget, kan? Padahal, dua lembaga ini
adalah tulang punggung ekonomi lokal.
Artikel ini akan membedah fenomena tersebut dari berbagai sudut—teknis, sosial, budaya, dan politik—dilengkapi dengan tanggapan dari komunitas Darustation dan refleksi kritis tentang peran masyarakat yang sering kali memilih diam.
🧠 1. Minim Literasi Ekonomi Digital di Tingkat Desa
Banyak pengelola media sosial desa belum memahami bahwa koperasi dan BUMDes bukan sekadar lembaga administratif, tapi instrumen strategis pembangunan ekonomi. Tanpa pemahaman ini, mereka cenderung menganggap topik koperasi dan BUMDes “tidak menarik” atau “tidak relevan” untuk publikasi.
📸 2. Media Sosial Desa Masih Bersifat Dokumentatif, Bukan Edukatif
Sebagian besar konten media sosial desa bersifat dokumentasi kegiatan: rapat, gotong royong, kunjungan pejabat, lomba. Padahal, media sosial bisa menjadi alat edukasi publik yang ampuh. Sayangnya, belum ada dorongan sistematis untuk mengubah fungsi ini.
🧑💻 3. SDM Pengelola Konten Belum Terlatih dalam Komunikasi Strategis
Admin media sosial desa sering merangkap tugas lain: perangkat desa, karang taruna, atau guru honorer. Mereka jarang mendapat pelatihan khusus tentang komunikasi publik, storytelling digital, atau desain konten. Akibatnya, topik-topik kompleks seperti koperasi dan BUMDes tidak dikemas secara menarik.
🧭 4. Tidak Ada Strategi Komunikasi Desa yang Terarah
Sebagian besar desa belum memiliki rencana komunikasi digital. Tidak ada kalender konten, tidak ada segmentasi audiens, tidak ada indikator keberhasilan. Tanpa strategi, konten tentang koperasi dan BUMDes tenggelam di antara postingan kegiatan harian.
🔍 5. Kekhawatiran Terhadap Transparansi dan Akuntabilitas
Beberapa desa enggan mempublikasikan informasi tentang koperasi dan BUMDes karena takut menimbulkan pertanyaan publik. Misalnya: “Kenapa BUMDes-nya nggak jalan?” atau “Dana koperasi dipakai buat apa?” Ketakutan ini membuat mereka memilih diam.
🧩 6. Belum Ada Integrasi Antara Pengurus Koperasi/BUMDes dan Tim Media Sosial
Pengurus koperasi dan BUMDes sering bekerja terpisah dari tim media sosial desa. Tidak ada koordinasi konten, tidak ada sharing data, tidak ada sinergi narasi. Akibatnya, potensi besar koperasi dan BUMDes tidak pernah muncul di ruang digital.
🧍♂️ 7. Peran Masyarakat yang Pasif dan Takut Bicara
Salah satu faktor yang jarang dibahas adalah sikap masyarakat desa sendiri yang cenderung diam. Banyak warga yang sebenarnya tahu bahwa koperasi dan BUMDes tidak berjalan optimal, namun memilih bungkam karena takut dianggap “melawan” atau “mengganggu stabilitas desa”.
Beberapa warga bahkan mengaku enggan mengomentari media sosial desa karena khawatir akan ditegur atau diintimidasi oleh kepala desa atau perangkatnya.
Fenomena ini menciptakan budaya bisu digital, di mana media sosial desa hanya menjadi ruang satu arah: dari pemerintah ke warga, bukan sebaliknya. Padahal, partisipasi warga sangat penting untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.
🗣️ Tanggapan Darustation: Saatnya Desa Bicara Ekonomi Lewat Media Sosial
Darustation menyoroti bahwa media sosial desa terlalu sibuk dengan dokumentasi kegiatan seremonial, sehingga lupa membangun narasi ekonomi berbasis warga. Mereka menilai koperasi dan BUMDes sering dianggap “urusan teknis” yang tidak cocok dijadikan konten publik, padahal justru di situlah letak potensi edukasi dan inspirasi.
“Kalau desa tidak bisa bercerita tentang ekonominya sendiri, siapa lagi yang akan percaya bahwa desa bisa mandiri?” — Darustation
Darustation juga menekankan pentingnya literasi digital ekonomi bagi pengelola media sosial desa. Mereka mendorong pelatihan konten strategis, pembuatan kalender narasi ekonomi, dan integrasi antara pengurus koperasi/BUMDes dengan tim komunikasi desa.
🔄 Koperasi dan BUMDes: Bukan Saingan, Tapi Mitra Strategis
Darustation mengingatkan bahwa koperasi dan BUMDes bukan entitas yang harus bersaing, melainkan bisa saling melengkapi. Media sosial desa seharusnya menjadi ruang edukasi tentang perbedaan fungsi, potensi sinergi, dan dampak ekonomi dari keduanya.
🎯 Rekomendasi Strategis untuk Desa
- 🎓 Pelatihan konten digital untuk admin desa, fokus pada storytelling ekonomi lokal
- 📅 Kalender konten bulanan yang menyisipkan edukasi koperasi dan BUMDes
- 📈 Gunakan data dampak ekonomi sebagai bahan konten: omzet, jumlah anggota, program unggulan
- 🎥 Produksi video pendek dan infografis tentang manfaat koperasi dan BUMDes
- 🤝 Libatkan warga dan pengurus koperasi/BUMDes dalam pembuatan konten: testimoni, kisah sukses, tantangan
- 🛡️ Ciptakan ruang aman bagi warga untuk menyampaikan pendapat tanpa takut intimidasi

✨ Penutup: Media Sosial Desa = Jendela Kemandirian
Media sosial desa bukan hanya etalase kegiatan, tapi bisa jadi ruang edukasi, transparansi, dan pemberdayaan. Koperasi dan BUMDes bukan topik berat—mereka adalah cerita tentang harapan, kerja sama, dan kemandirian. Tinggal bagaimana kita mengemasnya.
Dan yang tak kalah penting: masyarakat harus berani bersuara. Diam bukan solusi. Partisipasi aktif adalah kunci perubahan.
Kalau kamu pengelola media sosial desa, atau aktivis pembangunan lokal, yuk mulai ubah narasi digitalmu. Jadikan koperasi dan BUMDes sebagai bintang utama di linimasa! (ds)
