Kutukan Harta dari Tanah Gusuran: Antara Realitas, Mitos, dan Pandangan Islam
|Fenomena calo tanah gusuran yang berakhir tragis—baik meninggal dunia dengan harta melimpah atau hidup dalam kemiskinan setelah hartanya habis—sering menjadi pembicaraan. Fenomena ini dapat dilihat dari sudut pandang sosial, mitos budaya, dan ajaran agama, khususnya Islam.
Realitas Sosial: Ketamakan dan Kehancuran
Dalam konteks sosial, calo tanah gusuran sering kali mencari keuntungan dengan cara yang tidak etis, seperti membeli tanah dari warga yang terdesak dengan harga murah lalu menjualnya dengan harga tinggi. Praktik ini kerap memunculkan konflik sosial dan rasa tidak adil di masyarakat. Akibatnya, para pelaku sering menghadapi tekanan mental dan sosial.
Selain itu, banyak yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Ketidaksiapan mengelola kekayaan yang diperoleh secara mendadak sering menyebabkan harta tersebut cepat habis. Bahkan, konflik keluarga atau masalah hukum sering menjadi akhir dari kekayaan tersebut.
Mitos: Kutukan Tanah dan Karma Alam
Dalam budaya tradisional, tanah sering dianggap memiliki nilai spiritual. Jika tanah diperjualbelikan dengan cara yang tidak adil atau penuh konflik, roh tanah tersebut diyakini akan membawa “kutukan.” Harta dari hasil jual beli tersebut sering disebut “panas” atau “tidak berkah,” sehingga cepat hilang atau mendatangkan malapetaka.
Mitos ini sering kali dikaitkan dengan konsep karma, yakni hukum sebab-akibat yang berlaku dalam kehidupan. Siapa yang menanam kezaliman, maka ia akan menuai keburukan. Meskipun tidak terbukti secara ilmiah, mitos ini berfungsi sebagai pengingat moral agar orang tidak semena-mena terhadap hak orang lain.
Pandangan Islam: Harta Haram dan Keberkahan
Dalam Islam, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep harta halal dan haram. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Jika harta diperoleh melalui cara zalim, seperti menipu, memaksa, atau merugikan orang lain, maka harta tersebut tidak akan membawa keberkahan. Rasulullah SAW juga mengingatkan:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Harta yang tidak berkah akan mendatangkan berbagai masalah, baik berupa kegelisahan, musibah, maupun hilangnya harta secara cepat. Dalam beberapa kasus, harta tersebut justru bisa menjadi sebab kehancuran seseorang.
Mengelola Harta dengan Amanah
Islam mengajarkan pentingnya amanah dalam mengelola harta, termasuk hasil jual-beli tanah. Harta yang diperoleh harus digunakan untuk kebaikan, seperti bersedekah, membantu sesama, dan memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana.
Rasulullah SAW bersabda:
“Harta itu hijau dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar, maka akan diberkahi. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang salah, maka ia tidak akan diberkahi…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan: Pelajaran dari Fenomena Calo Tanah Gusuran
Fenomena ini mengajarkan bahwa harta yang diperoleh dengan cara zalim, selain tidak berkah, juga berpotensi menjadi sumber malapetaka. Baik dari sisi realitas sosial, mitos budaya, maupun ajaran Islam, semuanya menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam mencari rezeki.
Sebagai umat Islam, kita harus mengingat bahwa harta bukanlah tujuan utama, melainkan alat untuk mencapai keridhaan Allah. Dengan menjaga kehalalan dan keberkahan harta, kita akan mendapatkan ketenangan di dunia dan akhirat. (DS)