Koperasi Desa Merah Putih: Mimpi Ekonomi Desa yang Terancam Risiko Fiskal?

Rabu, 4 Juni 2025—Saya berkesempatan mengikuti sebuah diskusi yang cukup hangat dan menggugah pikiran. CELIOS (Center of Economic and Law Studies) mengadakan diseminasi riset secara daring yang membedah satu isu besar: “Koperasi Desa Merah Putih: Mewaspadai Risiko Fiskal Tersembunyi dan Mendorong Koperasi Desa yang Partisipatif.”

Zoom Meeting

Topiknya tak main-main. Pemerintah tengah menggulirkan rencana ambisius: mendirikan 80.000 koperasi desa secara serentak pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional. Kedengarannya heroik. Visi besarnya adalah menyelamatkan petani dari jerat tengkulak dan pinjaman ilegal, sekaligus membangkitkan ekonomi desa yang selama ini selalu tertinggal.

Tapi tunggu dulu… benarkah sesederhana itu?

💸 Kritik Soal Skema Pembiayaan: “Mimpi” yang Dibiayai Utang?

Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, tampil sebagai sosok yang tegas menguliti skema pembiayaan koperasi ini. Ia mengungkap bahwa pembiayaan koperasi desa akan bersumber dari pinjaman bank Himbara, berbunga 3% per tahun, selama 10 tahun. Ditambah lagi dengan asuransi kredit 0,5% dan biaya administrasi 0,5%.

Kedengarannya seperti pinjaman komersial biasa. Tapi yang bikin khawatir, menurut Media, cicilan koperasi kemungkinan besar akan dibayar dari dana desa. Dan kalau itu benar terjadi, maka koperasi ini bukan lagi alat pemberdayaan masyarakat—tapi bisa berubah jadi alat penjerat fiskal yang justru membebani desa.

“Yang kami khawatirkan adalah ini akan menjadi koperasi di atas kertas, dengan manajemen yang tidak partisipatif dan rawan gagal bayar,” ujar Media.

Saya jadi membayangkan, bagaimana jika koperasi ini gagal bayar? Apa yang akan terjadi pada APBDes dan anggaran pembangunan desa lainnya?

🏛️ Pemerintah Membela: “Ini Tentang Kedaulatan Ekonomi Desa”

Destry Anna Sari dari Kemenkop UKM mencoba meredam kekhawatiran itu. Menurutnya, program ini bukan sekadar koperasi simpan pinjam biasa. Ini adalah upaya membangun koperasi produksi dan distribusi yang bisa memangkas rantai distribusi hasil tani dan memberi nilai lebih kepada petani.

“Kami ingin koperasi produksi dan distribusi juga tumbuh di desa. Ini adalah cara memberdayakan petani dan pelaku usaha kecil secara nyata,” jelas Destry.

Ia juga menyebut bahwa program ini punya tujuan besar lain: memperkuat ketahanan pangan nasional dan menurunkan angka kemiskinan di desa.

Masuk akal. Tapi pertanyaannya tetap: apakah desa siap secara kelembagaan dan kapasitas untuk mengelola koperasi skala ini?

🧑‍🌾 Suara dari Desa: “Kami Butuh Kepastian Manfaat, Bukan Beban Baru”

Wakil Ketua Apdesi, Surtawijaya, mewakili suara dari desa-desa. Ia mengakui bahwa di awal memang ada resistensi dari beberapa kepala desa. Tapi setelah sosialisasi, banyak yang mulai terbuka dan menyatakan kesiapannya.

“Bagi kami kepala desa, selama koperasi ini memberikan manfaat bagi warga, kami siap mendukung. Kami hanya ingin agar koperasi ini tidak sekadar formalitas dan tidak menjadi beban baru,” ujarnya.

Saya menangkap nada hati-hati di sini. Dukungan ada, tapi jelas para kepala desa tidak ingin dibebani dengan “proyek” yang top-down dan sarat risiko.

🧭 Perspektif Akar Rumput: Eksperimen Sosial yang Jujur dan Terbuka

Mohamad Sobari, pendiri komunitas Darustation di Desa Daru, Kabupaten Tangerang, memberikan catatan penting. Ia menyoroti pentingnya partisipasi warga dan transparansi dalam tata kelola koperasi desa.

Menurut Sobari, jangan sampai koperasi hanya jadi struktur administratif yang dikendalikan dari pusat. Yang dibutuhkan adalah wadah partisipatif yang tumbuh dari bawah dan sesuai dengan semangat gotong royong.

“Darustation mendukung hadirnya ruang eksperimental koperasi yang transparan dan terbuka. Kami berharap ada model koperasi yang benar-benar sesuai dengan nilai gotong-royong dan semangat kemandirian desa,” ucapnya.

Kalimat ini, buat saya pribadi, menjadi pengingat bahwa koperasi sejatinya bukan hanya soal struktur ekonomi—tapi juga soal budaya, kepercayaan, dan nilai kolektif.

✍️ Penutup: Menuju Koperasi yang Sejati, Bukan Semu

Diseminasi riset CELIOS ini mengingatkan kita bahwa koperasi desa bisa menjadi senjata ampuh untuk membangun kemandirian ekonomi. Tapi hanya jika dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat: inklusif, partisipatif, dan transparan.

Jika pemerintah tetap ngotot pada pendekatan sentralistik dan pembiayaan utang tanpa mitigasi risiko yang matang, maka bisa saja koperasi desa justru menjadi jebakan fiskal baru yang menjerat desa—alih-alih membebaskannya.

Koperasi bukan proyek instan. Ia tumbuh dari relasi sosial, bukan dari cicilan bank.

Add a Comment