Kompak Tanpa Akhlak: Saat Kebersamaan Menjadi Bumerang

🤝   Kita sering bangga dengan komunitas yang guyub. Kompak. Saling dukung. Tapi di balik senyum dan pelukan itu, ada satu pertanyaan yang jarang ditanyakan: apakah kekompakan ini masih sehat? Atau justru sudah berubah jadi lingkaran yang menumpulkan akhlak dan moral?

Di banyak lingkungan, budaya “engga enakan” tumbuh subur. Kita sungkan menegur, takut dianggap sok suci, atau malah khawatir merusak suasana. Padahal, membiarkan kesalahan demi kenyamanan bukanlah bentuk kasih sayang—itu bentuk pengabaian.

Seperti yang disinggung Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, praktik “kongkalikong” yang dibiarkan puluhan tahun bisa melahirkan kebodohan sistemik. Anak cucu kita mewarisi kebiasaan yang salah, tapi dianggap biasa. Dan semua itu bermula dari satu hal: kita terlalu kompak untuk berkata benar.


📖 Tabayun dan Crosscheck: Bukan Curiga, Tapi Cinta

Dalam Islam, klarifikasi bukan hanya etika sosial—itu perintah Tuhan.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)…”
(QS. Al-Hujurat: 6)

Tabayun adalah bentuk cinta. Kita tidak sedang mencari salah, tapi sedang menjaga agar informasi tak liar, agar keputusan tak gegabah, agar konflik tak membesar. Crosscheck adalah bentuk tanggung jawab. Kita menempatkan diri bukan sebagai hakim, tapi sebagai penjaga nilai.

Ulama seperti Imam Al-Ghazali menekankan bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan hikmah dan kelembutan. Menegur bukan berarti menghakimi, tapi mengingatkan dengan cinta.


📜 Menempatkan Peran Sesuai Nilai: Dari UUD hingga Nurani

Dalam konteks negara, UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab. Peraturan sosial dan etika publik menempatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai penjaga nilai, bukan sekadar simbol.

  • Tokoh masyarakat bukan hanya pemanis acara. Mereka adalah penuntun arah dan penjaga akal sehat publik.
  • Tokoh agama bukan hanya pembaca doa. Mereka adalah penjaga ketaqwaan dan akhlak.
  • Warga biasa bukan hanya penonton, tapi bagian dari sistem nilai yang harus dijaga.

Bijak bukan berarti diam. Taqwa bukan berarti pasrah. Justru keduanya menuntut keberanian untuk berkata benar, meski pahit. Karena kalau bukan kita yang menjaga nilai, siapa lagi?


🔥 Saatnya Reformasi Sosial: Dari Sungkan ke Keberanian

Komunitas yang sehat bukan yang selalu sepakat, tapi yang berani saling mengingatkan. Kita perlu ubah lingkaran ini. Dari yang saling sungkan, menjadi saling menguatkan. Dari yang kompak dalam diam, menjadi kompak dalam kebenaran.

Karena warisan terbaik untuk anak cucu bukanlah harta atau jabatan, tapi sistem nilai yang sehat dan berani.


✍️ Penutup: Jangan Biarkan Kebodohan Jadi Tradisi

Kompak itu indah. Tapi kalau sudah menumpulkan nurani, saatnya kita evaluasi. Mari bangun komunitas yang berani tabayun, berani menegur, dan berani menjaga nilai. Karena reformasi sosial bukan dimulai dari panggung besar, tapi dari keberanian kecil di lingkaran kita sendiri. (ds)

Add a Comment