KKN di Desa Daru: Ketika Mahasiswa Lebih Memilih Perumahan daripada Perkampungan
|✍️ Oleh: Tim Darustation
Pagi itu, saya berjalan melintasi salah satu klaster perumahan di Desa Daru, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang. Udara pagi masih segar, tapi ada pemandangan yang cukup menggelitik: beberapa mahasiswa KKN tampak duduk santai di teras rumah warga, sebagian lagi sibuk menyusun rencana kegiatan sambil tetap terhubung ke internet. Tak jauh dari sana, iring-iringan motor mahasiswa KKN melintas pelan, seolah menjadikan jalanan perumahan sebagai lintasan kegiatan mereka.
Sekilas, semua ini terlihat seperti bentuk pengabdian yang baik—terorganisir, nyaman, dan produktif. Namun, ada yang terasa ganjil.
Kenapa lokasi KKN-nya di perumahan?
Ke mana kampung-kampung lokal yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa belajar dari masyarakat akar rumput?

📌 Dari Urban ke Rural: Esensi yang Bergeser
KKN lahir dari semangat membumikan ilmu. Mahasiswa diminta untuk turun langsung ke lapangan, menyatu dengan masyarakat desa, dan mengurai persoalan-persoalan nyata dari kehidupan mereka. Namun kini, batas antara desa dan kota makin kabur. Yang dahulu disebut kampung kini terdesak oleh perumahan-perumahan baru.
Kampung tersisih, perumahan mendominasi.
Padahal, esensi pengabdian itu justru tumbuh subur di kampung-kampung tradisional, yang menyimpan berbagai tantangan pembangunan:
- Ketimpangan pendidikan
- Sanitasi yang belum layak
- Praktik budaya lokal yang mulai tergerus
- Struktur sosial yang masih bertumpu pada relasi informal
Sementara kawasan perumahan?
Lebih seperti kantong steril yang nyaman: listrik stabil, sinyal lancar,
minimarket di ujung jalan. Hampir tak ditemukan konflik struktural desa di
sana.
Lalu, di mana letak tantangan sosialnya?
🧠 Teori Sosiologi: Kenyamanan dan Distorsi Realitas Sosial
Menurut teori sosiologi struktural-fungsional, desa adalah
sistem sosial utuh. Ketika satu elemen seperti pendidikan anak, kesehatan ibu,
atau partisipasi pemuda stagnan, seluruh sistem akan terganggu.
KKN seharusnya hadir sebagai intervensi sosial yang menguatkan simpul-simpul
ini.
Namun yang terjadi kini justru sebaliknya:
- 🧩 Mahasiswa mulai bergeser dari paradigma pengabdian ke kenyamanan
- 🧩 Pembimbing desa memilih lokasi yang rapi dan mudah dipantau
- 🧩 Kampus melepas tangan, bahkan tak sadar bahwa yang “dibantu” sebenarnya sudah cukup mandiri
Akhirnya, KKN yang seharusnya menjadi ladang transformasi
berubah menjadi sekadar simulasi formalitas.
Esensinya menguap, realitas sosialnya mengabur.
🎓 Siapa yang Salah?
Mari kita uraikan kemungkinan penyebabnya:
1. Mahasiswa Takut Tantangan?
Bisa jadi. Banyak mahasiswa lahir dan tumbuh di lingkungan
urban.
Tanpa sinyal dan WiFi, mereka seperti kehilangan arah.
Namun, bukankah KKN seharusnya menjadi jendela menuju kehidupan yang lebih
nyata?
2. Pembimbing Desa Salah Arah?
Mungkin saja. Demi keamanan dan kemudahan koordinasi,
pembimbing bisa saja mengarahkan ke lokasi “aman” yang dekat dan tertata.
Padahal, di balik rel kereta, ada kampung yang bahkan tidak memiliki
posyandu aktif.
3. Kampus Melepas Tangan?
Inilah akar persoalan.
Banyak kampus tidak membekali mahasiswa dengan pemahaman sosial mendalam.
Tidak ada pemetaan wilayah, tidak ada supervisi berarti.
KKN menjadi event tahunan yang terlaksana, bukan program transformasi yang
bermakna.
📚 Apa Kata Aturan?
Secara prosedural, KKN semestinya:
- Berbasis pemetaan kebutuhan masyarakat (needs assessment)
- Diawali dengan survei sosial yang komprehensif
- Dijalankan dengan koordinasi aktif bersama perangkat desa
- Dibimbing dan diawasi langsung oleh kampus melalui dosen lapangan
Jika hal-hal di atas diabaikan, maka KKN hanya menjadi laporan administratif, tanpa daya sentuh sosial yang kuat.
🔄 Rekomendasi Sosiologis
Untuk mengembalikan marwah KKN, berikut beberapa usulan berbasis pendekatan sosiologis:
- Reposisi lokasi KKN ke kampung-kampung yang rentan dan butuh intervensi
- Keluarkan mahasiswa dari zona nyaman, ajak mereka menghadapi realita yang minim infrastruktur
- Kampus harus menegaskan nilai pengabdian dalam panduan KKN, bukan sekadar checklist kegiatan
- Pemerintah desa jangan hanya tampilkan bagian “instagramable”, tapi berikan akses pada wilayah yang sesungguhnya membutuhkan

✊ Kembali ke Akar: Menghidupkan Jiwa KKN
KKN bukanlah agenda mempercantik taman perumahan.
Ia seharusnya membangun jembatan antara ilmu kampus dan kebutuhan rakyat.
Bukan untuk membagikan brosur ke klaster-klaster nyaman,
melainkan mendengar langsung cerita ibu-ibu kampung yang ingin mendirikan
PAUD.
Bukan untuk eksis di Instagram,
tapi untuk menyentuh realita sosial yang belum tersentuh.
Jika KKN hanya dijalankan di tempat yang nyaman,
maka mahasiswa yang lahir dari proses itu bukanlah agen perubahan,
melainkan agen konsumsi yang terlatih untuk mencari kenyamanan.
Sudah saatnya kita kembali ke akar.
Karena pengabdian bukan tentang lokasi,
tapi tentang kepada siapa kita mengabdi.
📝 Artikel ini
merupakan hasil observasi Tim Darustation bersama masyarakat Desa Daru.
Punya cerita menarik tentang pengalaman KKN-mu? Kirimkan ke admin@darustation.com