Kiray: Warisan Tanaman Lokal yang Kini Tinggal Kenangan di Kampung Bandung, Desa Daru

Di masa lalu, Kampung Bandung di Desa Daru, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang, dikenal sebagai salah satu sentra produksi atap kiray. Atap tradisional ini terbuat dari daun pohon kiray (Livistona), sejenis palem yang banyak tumbuh di sekitar pinggir kali dan rawa-rawa. Sayangnya, jejak kejayaan atap kiray kini hanya tinggal kenangan. Tanaman kiray yang dulu melimpah kini semakin langka, bahkan hampir tak ditemukan lagi di daerah ini.

Atap Daun Kiray

Keistimewaan Tanaman Kiray

Pohon kiray dikenal karena daunnya yang lebar, lentur, dan kuat, sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan atap rumah tradisional. Atap kiray memiliki keunggulan sebagai penahan panas yang baik, tahan terhadap hujan, dan dapat bertahan bertahun-tahun jika dirawat dengan benar. Selain itu, proses pembuatannya yang ramah lingkungan membuatnya menjadi pilihan populer di masa lampau.

Daun kiray biasanya diambil, dijemur, dan dianyam menjadi lembaran atap. Proses ini membutuhkan keahlian khusus dan memakan waktu, tetapi hasilnya memuaskan: atap yang ringan, estetik, dan mampu memberikan kesejukan alami di dalam rumah.

Kampung Bandung: Sentra Produksi Atap Kiray

Pada masa jayanya, Kampung Bandung menjadi tempat para pengrajin atap kiray yang mengandalkan pohon kiray sebagai sumber penghidupan. Di sekitar aliran sungai, tanaman ini tumbuh subur, memberikan pasokan bahan baku yang melimpah. Banyak warga di desa ini yang menggantungkan hidup mereka dari kerajinan atap kiray, menjualnya ke berbagai daerah untuk digunakan pada rumah adat, saung, atau bahkan tempat ibadah.

Namun, seiring berjalannya waktu, permintaan atap kiray mulai berkurang. Modernisasi membawa bahan bangunan baru seperti genteng, seng, dan asbes yang dianggap lebih praktis dan tahan lama. Perlahan, kerajinan atap kiray pun tergeser, dan pohon kiray yang dulunya banyak ditemukan di pinggir kali mulai ditebang atau hilang akibat alih fungsi lahan.

Punahnya Pohon Kiray di Desa Daru

Transformasi desa menjadi kawasan permukiman modern dan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab utama hilangnya tanaman kiray di Desa Daru. Pohon-pohon kiray yang dulunya menghiasi tepi kali kini digantikan dengan beton, rumah-rumah permanen, dan lahan untuk pertanian atau komersial.

Keberadaan kiray yang dulunya menjadi ikon kampung ini kini hanya tersisa dalam cerita para orang tua. Generasi muda mungkin hanya mengenal kiray dari nama atau melihatnya di tempat lain tanpa mengetahui bahwa tanaman ini pernah menjadi bagian penting dari kehidupan leluhur mereka.

Mengenang dan Melestarikan Warisan Kiray

Meskipun kini tinggal kenangan, kiray menyimpan pelajaran berharga tentang bagaimana masyarakat lokal dahulu memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Ada baiknya jika pohon kiray diupayakan kembali untuk ditanam, setidaknya sebagai simbol warisan budaya. Pemerintah desa atau komunitas lokal bisa menginisiasi program penghijauan dengan tanaman kiray di sekitar sungai, sehingga generasi mendatang dapat melihat langsung tanaman yang pernah menjadi bagian dari sejarah Kampung Bandung.

Rumah Suku Baduy Beratap Kiray

Selain itu, dokumentasi tentang proses pembuatan atap kiray, cerita para pengrajin, dan nilai budaya di baliknya perlu dilakukan agar tradisi ini tidak sepenuhnya hilang. Festival budaya atau pameran kerajinan lokal juga dapat menjadi cara menarik untuk mengenalkan kembali kiray kepada masyarakat luas.

Hilangnya pohon kiray di Kampung Bandung, Desa Daru, adalah pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan serta budaya. Tanaman kiray bukan hanya sekadar pohon, melainkan simbol dari kearifan lokal dan harmoni dengan alam. Semoga kisah ini dapat menginspirasi upaya pelestarian warisan alam dan budaya lainnya yang masih tersisa.  (DS)

Kampung Bandung mungkin telah berubah, tetapi kenangan tentang kiray tetap hidup dalam ingatan mereka yang pernah menyaksikan kejayaannya.

Add a Comment