Ketua BPD, Ijazah, dan Sebuah Dilema di Balik Sosialisasi

Pagi itu, aula desa dipenuhi kursi merah yang tersusun rapi. Beberapa warga sudah hadir, duduk sambil mengobrol kecil, menanti acara dimulai. Spanduk besar terbentang di belakang panggung: “Sosialisasi Program Pendidikan Kesetaraan Tingkat Desa (PAKADES)”. Sebuah program yang tampaknya mulia, menjanjikan ijazah untuk mereka yang tertinggal pendidikan formal.

Namun, di balik senyum dan jabat tangan, terselip sebuah keganjilan. Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) — sosok yang seharusnya menjadi pengawas roda pemerintahan desa — justru berdiri di barisan paling depan. Ia ikut tersenyum bangga saat simbolik ijazah diberikan, lengkap dengan seremonial dan foto bersama.

Padahal… banyak pertanyaan belum terjawab.

Apakah warga benar-benar memahami program ini?
Apakah proses belajarnya sudah dilalui?
Ataukah ini hanya formalitas?

Ketua BPD yang seharusnya bersikap netral dan kritis, kini larut dalam seremoni. Bukan hanya sekadar hadir, tapi terlibat aktif. Ia tahu, ada prosedur yang dilewati. Ia sadar, program ini belum sepenuhnya sesuai aturan. Tapi… ia memilih diam. Seperti banyak yang lain.

Apakah karena tekanan? Karena solidaritas? Atau karena… kenyamanan dalam zona aman kekuasaan?

Warga biasa hanya bisa bertanya-tanya. Beberapa terlihat bingung, duduk termenung, tak benar-benar paham mengapa mereka ada di ruangan itu. Sementara di atas podium, para “penyelenggara” tersenyum lebar — seolah semua berjalan sesuai rencana.

Ketua BPD, haruskah engkau jadi pengawas atau bagian dari drama seremonial?
Sebuah pertanyaan yang menggantung di tengah aula — tak terucap, namun terasa menggigit.

Dan pagi itu ditutup dengan tepuk tangan.
Ijazah dibagikan.
Semua pulang.
Diam.

Tapi di hati warga yang jeli, cerita ini akan dikenang bukan sebagai “kemajuan pendidikan”, melainkan sebagai dilema antara fungsi dan formalitas. (ds)

Add a Comment