Ketika Kepala Desa Melarang Warganya Bermedia Sosial: Apa Sanksi dan Hukumnya?

Di era digital seperti sekarang, media sosial bukan lagi sekadar ruang hiburan. Ia telah menjadi wadah ekspresi, sarana komunikasi publik, bahkan alat kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Tapi bagaimana jika seorang kepala desa justru melarang warganya untuk bermedia sosial? Apakah tindakan itu sah menurut hukum? Dan apa sanksinya jika larangan tersebut terbukti melanggar aturan?

🧩 Kebebasan Berekspresi Dijamin Konstitusi

Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk berpendapat dan berekspresi, termasuk melalui media sosial. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: 

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Selain itu, Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa setiap orang bebas untuk memiliki, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan maupun tertulis, termasuk lewat dunia maya.

Artinya, jika kepala desa melarang warganya menggunakan media sosial — tanpa dasar hukum yang jelas — maka larangan itu bisa dianggap melanggar hak konstitusional warga negara.

⚖️ Kewenangan Kepala Desa Tidak Sampai ke Ruang Digital Pribadi

Dalam sistem pemerintahan desa, kepala desa memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 

Pasal 26 menyebutkan, kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Namun tidak ada satu pasal pun yang memberi kepala desa hak untuk mengatur atau membatasi aktivitas pribadi warga di media sosial. 

Apalagi jika alasan larangan hanya karena warga dianggap “mengkritik pemerintah desa” atau “menyebarkan opini berbeda.” 

Sikap seperti ini bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.

🚨 Potensi Pelanggaran Hukum oleh Kepala Desa

Jika kepala desa memaksa warganya untuk tidak menggunakan media sosial — atau bahkan mengancam dengan sanksi administratif — maka bisa timbul beberapa pelanggaran hukum, di antaranya:

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Kepala desa bisa dilaporkan ke Komnas HAM atas tindakan yang menghambat hak berekspresi dan hak memperoleh informasi.

2. Pelanggaran Etika dan Administratif

Warga dapat melapor ke Camat atau Inspektorat Kabupaten karena kepala desa telah bertindak di luar kewenangannya. 

Sanksinya bisa berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, bahkan pemberhentian tetap jika terbukti melakukan pelanggaran berat.

3. Pelanggaran Pidana (KUHP dan UU HAM) 

Jika larangan dilakukan dengan ancaman, intimidasi, atau kekerasan, kepala desa bisa dijerat dengan beberapa pasal berikut: 

   – Pasal 335 KUHP: Perbuatan tidak menyenangkan atau memaksa seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan ancaman, diancam pidana penjara maksimal 1 tahun

   – Pasal 421 KUHP: Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat yang memaksa seseorang melakukan sesuatu atau menghalangi haknya, diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

   – Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Setiap pejabat yang dengan sengaja membatasi atau menghalangi pelaksanaan hak asasi seseorang dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 5 tahun. 

Jadi, jika kepala desa melarang dan menekan warganya untuk berhenti bermedia sosial, apalagi dengan ancaman administratif atau kekerasan verbal, maka tindakan itu bisa berujung pidana penjara antara 1 hingga 5 tahun.

📱 Media Sosial Bukan Musuh Pemerintah Desa

Alih-alih melarang, seharusnya kepala desa justru memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi dan transparansi publik.

Melalui kanal digital, pemerintah desa bisa:

– Menyampaikan laporan pembangunan. 

– Mengumumkan program bantuan sosial. 

– Menampung aspirasi warga secara terbuka. 

– Membangun citra positif dan kepercayaan masyarakat.

Dengan begitu, media sosial bukan dianggap ancaman, melainkan ruang sinergi antara pemerintah dan warga.

💬 Penutup: Bijak Mengelola Dunia Maya

Pemerintah desa dan warga sama-sama memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga etika bermedia sosial. 

Warga berhak menyuarakan pendapat, tapi tetap harus memperhatikan etika digital, tidak menyebar hoaks, dan tidak mencemarkan nama baik.

Sebaliknya, kepala desa juga wajib menghormati hak warganya dalam berkomunikasi dan berekspresi, sebagaimana diatur dalam hukum nasional.

Karena di era keterbukaan informasi ini, melarang warga bermedia sosial bukan solusi — justru bisa menjadi masalah hukum baru.

📎 Kesimpulan Singkat: 

Larangan kepala desa terhadap aktivitas media sosial warganya tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Jika dilakukan secara paksa, tindakan itu dapat dianggap pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang, dengan ancaman pidana antara 1 hingga 5 tahun penjara.

Langkah terbaik adalah dialog, edukasi digital, dan transparansi informasi — bukan larangan sepihak.

✍️ Ditulis oleh: Mohamad Sobari

Add a Comment