Ketika Dana Publik Menyusut dan Suara Rakyat Menghilang: Catatan dari Pinggiran Negeri

Pernahkah kamu merasa bahwa pembangunan di daerahmu berjalan seperti sandiwara? Gedung-gedung setengah jadi, papan proyek yang entah ke mana, dan Musrenbang yang hanya jadi ajang formalitas tahunan. Di balik semua itu, ada satu benang merah yang sering luput dari perhatian: pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD).

TKD bukan sekadar angka di APBN. Ia adalah napas pembangunan di banyak pelosok negeri. Ketika alirannya tersendat, dampaknya langsung terasa—jalan rusak tak diperbaiki, program pemberdayaan tertunda, dan masyarakat mulai kehilangan harapan.

💰 TKD: Uang Kiriman yang Menentukan Masa Depan

TKD adalah dana dari pemerintah pusat untuk daerah, agar mereka bisa menjalankan pelayanan publik dan pembangunan. Ada DAU untuk kebutuhan umum, DAK untuk proyek spesifik, DBH dari hasil pajak, dan Dana Desa yang langsung masuk ke rekening desa.

Namun, ketika pencairan TKD dipotong atau ditunda, desa-desa yang bergantung pada dana ini seperti kehilangan oksigen. Kantor desa mangkrak, kegiatan sosial terhenti, dan warga hanya bisa menatap kosong ke arah papan pengumuman yang tak pernah berubah.

🏚️ Kantor Pemerintahan di Rumah Pribadi?

Ada satu fenomena yang cukup menggelitik—operasional pemerintahan desa yang berlangsung di rumah kepala desa. Bukan karena tidak ada kantor, tapi karena kantor yang dibangun tak kunjung selesai. Tanpa papan proyek, tanpa laporan akuntabilitas, dan tanpa pengawasan berarti.

Selama bertahun-tahun, anggaran desa mengalir ke tempat yang seharusnya menjadi milik publik, tapi justru menyatu dengan ruang tamu pribadi. Transparansi? Seolah jadi barang mewah.

💸 BUMDes dan Koperasi: Potensi atau Alat Baru?

Di tengah ketidakjelasan, muncul wacana pembentukan BUMDes dan koperasi desa. Secara konsep, ini adalah langkah cerdas. Tapi jika dibentuk tanpa arah, tanpa transparansi, dan hanya jadi “proyek elit lokal,” maka potensi itu bisa berubah jadi jebakan baru.

Dana publik yang seharusnya memberdayakan masyarakat justru mengalir ke lembaga yang tak jelas manfaatnya. Dan masyarakat? Hanya jadi penonton.

🧩 Ketika Warga Memilih Diam

Yang paling menyedihkan bukanlah korupsi kecil yang terjadi, tapi apatisme yang tumbuh. Warga yang dulu aktif bersuara kini lebih memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena lelah dan merasa tak berdaya.

Lingkaran kekuasaan di tingkat desa semakin tertutup. Kritik dianggap ancaman, bukan masukan. Budaya takut berbicara tumbuh subur, dan pembangunan pun berjalan tanpa arah—seolah hanya untuk laporan, bukan untuk kesejahteraan.

⚖️ Diam Bukan Pilihan

Pertanyaannya: apakah kita hanya bisa menunggu takdir? Atau sudah saatnya ada aksi nyata—penguatan pengawasan, reformasi kepemimpinan, dan sistem laporan terbuka?

Karena desa bukan milik segelintir orang. Ia milik seluruh warganya. Dan setiap rupiah dari dana publik harus kembali ke rakyat, bukan ke ruang tamu pribadi.

🌱 Penutup: Harapan Itu Masih Ada

Di balik semua kelelahan dan ketidakpercayaan, masih ada harapan. Potensi desa tetap besar—dari sumber daya manusia, ekonomi lokal, hingga semangat gotong royong.

Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk bersuara, sistem yang transparan, dan sinergi antara masyarakat, tokoh lokal, dan pemerintah kecamatan. Karena perubahan tidak datang dari langit. Ia lahir dari niat manusia yang tak mau lagi diam.(ds)

Add a Comment