Kajian: Adab Penuntut Ilmu

Bersama: Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri
Kitab: Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim fii Adabil ‘Alim wal Muta’allim
Tempat: Masjid An-Nur, Blok M Square
Hari/Tanggal: Sabtu, 13 September 2025


Pembukaan Kajian

Kajian dimulai dengan doa:

“Allahumma ighfir lil muslimina wal muslimat, wal mu’minina wal mu’minat, al-ahyaa’i minhum wal amwat, innaka sami’un qaribun mujibu da’awat, yaa qadhiya al-hajat.”

Dilanjutkan dengan membaca basmalah, hamdalah, dan shalawat kepada Rasulullah ﷺ.


Pendahuluan

Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan bahwa adab selalu lebih didahulukan daripada ilmu.

“Adab sebelum ilmu, iman sebelum Al-Qur’an.”

Ilmu memiliki kekuatan yang luar biasa, bagaikan senjata tajam. Jika berada di tangan orang yang salah, maka bisa merusak dan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, sebelum seorang penuntut ilmu mendalami ilmu agama, dia harus memperbaiki adab dan iman terlebih dahulu.

Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam akhlak, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)


Ilmu dan Sabar

Ilmu yang dimiliki harus diiringi dengan kesabaran. Jika seseorang memiliki ilmu tetapi tidak sabar, ilmunya tidak akan memberi manfaat, bahkan bisa menjadi bumerang.

Ibnu Jama’ah menjelaskan:

“Sabar adalah salah satu pondasi utama dalam perjalanan menuntut ilmu.”

Ustadz memberikan perumpamaan seperti memasak bubur:

Jika memasak terlalu cepat dan tidak sabar, buburnya akan gosong.

Jika tidak mengontrol api, hasilnya juga gagal.
Begitu pula dalam ilmu: tanpa sabar, hasilnya akan sia-sia.


Tiga Level Kesabaran

Dalam kajian ini, Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri menjelaskan tiga tingkatan sabar yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu:

  • Ash-Shabru Billah (Sabar dengan pertolongan Allah)

Kita tidak mungkin mampu bersabar dengan kekuatan sendiri.

Semua kesabaran adalah pertolongan Allah, bukan karena kehebatan diri kita.

Perbanyak doa dan zikir seperti:
“Laa hawla wa laa quwwata illa billah”
(Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Tanpa doa dan tawakal, kita akan mudah lelah dan menyerah.


  • Ash-Shabru Lillah (Sabar karena Allah)

Sabar yang benar adalah sabar karena Allah, bukan karena manusia.

Jika kita sabar hanya demi mendapat pujian atau karena malu kepada orang lain, itu bukan sabar yang sejati.

Sabar karena Allah berarti:

Menahan amarah.

Menjaga hati agar tetap ikhlas.

Bersabar dalam ketaatan, menjauhi maksiat, dan menerima takdir Allah.


  • Ash-Shabru Ma’a Allah (Bersabar bersama Allah)

Ini adalah tingkatan sabar tertinggi.

Kita bersabar bersama Allah, yaitu tetap berada di jalan yang Allah inginkan, menjalankan perintah-Nya, dan menahan diri dari larangan-Nya.

Batasan Allah (hududullah) tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun.

Allah berfirman dalam QS. At-Taubah: 112:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji Allah, berjalan di jalan-Nya, ruku’, sujud, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta memelihara batas-batas Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.”


Definisi Sabar

Sabar bukanlah sikap pasif atau diam tanpa melakukan apa-apa.

“Sabar adalah tetap konsisten menjalankan apa yang Allah inginkan dari kita, di tengah dinamika kehidupan dan ujian yang datang silih berganti.”

Contoh dalam silaturahmi:

Jika kita dizalimi oleh keluarga besar, sabar bukan berarti memutuskan hubungan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi itu orang yang membalas kebaikan. Tetapi orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang tetap menyambung meskipun ia diputuskan.”
(HR. Bukhari)

Sabar berarti terus menyambung silaturahmi, bahkan dengan orang yang bersikap zalim kepada kita.


Sabar dan Kejujuran

Salah satu karakter orang yang lurus adalah ash-shidq (jujur).
Sabar tanpa kejujuran adalah sia-sia.

Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 69 tentang empat golongan yang akan mendapatkan nikmat Allah:

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi teladan dalam kesabaran dan kejujuran. Beliau adalah simbol kesabaran yang tinggi, terutama ketika menghadapi ujian besar dalam dakwah Rasulullah ﷺ.


Kisah Nabi Yusuf dan Sabar

Ustadz menjelaskan QS. Yusuf: 24, tentang kisah Nabi Yusuf yang berhasil menjaga diri dari godaan Zulaikha.

“Jika bukan karena dia melihat tanda (bukti) dari Tuhannya…”

Artinya, kesabaran sejati hanya mungkin terwujud dengan pertolongan Allah.
Tidak ada seorang pun yang mampu menahan hawa nafsu kecuali jika Allah menolongnya.


Ilmu dan Sabar

Sabar membutuhkan ilmu.

Jika seseorang tidak memahami batasan syariat, dia tidak akan bisa bersabar dengan benar.

Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus belajar dari ulama, bukan menyimpulkan hukum sendiri.

Ilmu diwariskan dari Nabi ﷺ kepada para sahabat, kemudian kepada tabi’in, dan seterusnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
(HR. Abu Dawud)


Kesimpulan Kajian

  1. Adab lebih utama daripada ilmu, karena ilmu tanpa adab berpotensi merusak.
  2. Sabar adalah kunci utama dalam perjalanan menuntut ilmu dan menghadapi kehidupan.
  3. Ada tiga level sabar:

Billah – dengan pertolongan Allah.

Lillah – karena Allah.

Ma’a Allah – bersama Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

  1. Kesabaran sejati hanya mungkin terwujud jika kita memiliki ilmu yang benar dan pertolongan dari Allah.
  2. Sabar bukan sikap pasif, tetapi aktif menjalankan perintah Allah dengan penuh konsistensi.

Penutup

Kajian ditutup dengan doa kafaratul majlis:

“Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu an laa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.”

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang sabar, berilmu, dan beradab dalam menuntut ilmu serta menghadapi ujian hidup.

Add a Comment