Job Hugging di Indonesia: Ketika Tak Ada Pilihan Selain Bertahan

Fenomena job hugging kini menjadi sorotan global, terutama setelah laporan ResumeBuilder pada Agustus 2025 mengungkapkan bahwa 45% pekerja penuh waktu di Amerika Serikat mengaku sedang berada dalam fase ini. Fenomena ini mulai terasa pula di Indonesia, meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) belum merilis survei resmi yang secara eksplisit menggunakan istilah job hugging. Namun, data BPS dan survei lapangan lainnya menunjukkan pola yang serupa: banyak pekerja yang memilih bertahan di pekerjaan mereka, bukan karena bahagia, tetapi karena tidak ada pilihan lain.


Apa Itu Job Hugging?

Secara sederhana, job hugging berarti “memeluk pekerjaan”.
Ini bukan tentang cinta pada pekerjaan, melainkan ketakutan akan ketidakpastian di luar. Pekerja yang mengalami job hugging tetap bertahan di posisi mereka, walau sudah kehilangan gairah, karena:

  • Takut kehilangan penghasilan tetap.
  • Sulit menemukan pekerjaan baru yang lebih baik.
  • Tidak yakin keterampilan yang dimiliki masih relevan.
  • Takut risiko gagal saat mencoba karier baru.

Job hugging berbeda dengan job hopping (loncat kerja), di mana pekerja pindah pekerjaan dalam waktu singkat demi mengejar kenaikan gaji, pengalaman, atau posisi yang lebih tinggi.


Data BPS: Ketidakpastian Pasar Kerja Indonesia

Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS per Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia berada di kisaran 4,8%, sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya. Namun, angka ini belum menggambarkan seluruh cerita.

Beberapa poin penting yang relevan dengan fenomena job hugging:

  1. Pertumbuhan Lapangan Kerja Baru Melambat
    Banyak sektor industri tradisional seperti manufaktur dan tekstil yang mengalami perlambatan rekrutmen akibat tekanan global dan otomatisasi.
  2. Dominasi Sektor Informal
    Sekitar 56% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Pekerjaan di sektor ini sering kali tidak memiliki jaminan sosial maupun jenjang karier yang jelas.
  3. Tekanan Biaya Hidup
    Inflasi yang terus meningkat membuat pekerja semakin berhitung dalam mengambil risiko untuk berpindah kerja.
    Banyak yang memilih bertahan demi keamanan finansial, walau sebenarnya mereka ingin keluar.

Survei Darustation: Ojek Online dan Taksi Online, Antara Bertahan dan Terjebak

Selain data BPS, Darustation, sebuah platform riset independen berbasis komunitas, melakukan survei pada Juli–Agustus 2025 mengenai kondisi pekerjaan di sektor transportasi daring seperti ojek online (ojol) dan taksi online.

Temuan Utama Survei Darustation

  1. Supply Masih Sangat Tinggi
    Jumlah pendaftar driver baru terus meningkat. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan di sektor lain akhirnya berbondong-bondong mendaftar sebagai driver.
  2. Demand Masih Cukup Stabil
    Permintaan penumpang masih tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
    Namun, pertumbuhan permintaan tidak secepat pertumbuhan driver, sehingga persaingan antar-driver semakin ketat.
  3. Tidak Ada Pilihan Pekerjaan Lain
    Sebagian besar responden (sekitar 72%) mengaku tidak memiliki alternatif pekerjaan lain.
    Mereka memilih menjadi driver bukan karena keinginan, tetapi karena terdesak kebutuhan.
  4. Alasan Bertahan
    • 64% driver mengatakan pendapatan mereka pas-pasan, tapi tetap bertahan karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih stabil.
    • 23% driver berharap suatu hari bisa pindah pekerjaan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
    • 13% benar-benar merasa nyaman dan ingin terus bekerja di sektor ini.

Kaitan dengan Job Hugging

Fenomena di sektor transportasi daring menunjukkan bentuk nyata job hugging di Indonesia.
Driver ojek dan taksi online memeluk pekerjaan ini bukan karena itu adalah pekerjaan impian mereka, melainkan karena:

  • Tidak ada pilihan pekerjaan lain yang lebih baik atau lebih aman.
  • Mereka takut kehilangan satu-satunya sumber penghasilan tetap.
  • Lingkungan kerja yang sudah dikenal terasa lebih “aman” dibanding mencoba sektor baru yang penuh ketidakpastian.

Job hugging di sektor ini juga membuat banyak driver menunda atau mengurungkan niat pindah pekerjaan, meski persaingan semakin keras dan pendapatan tidak meningkat signifikan.


Dampak Job Hugging di Indonesia

1. Dampak bagi Pekerja

  • Stres dan kelelahan mental: Pekerjaan dijalani hanya demi bertahan hidup, tanpa motivasi yang jelas.
  • Stagnasi keterampilan: Tidak ada peningkatan kemampuan yang signifikan karena pekerja tidak mengejar perkembangan karier.
  • Kualitas hidup menurun: Ketika pekerjaan hanya sekadar untuk bertahan, rasa puas dan kebahagiaan dalam hidup ikut terpengaruh.

2. Dampak bagi Perusahaan dan Industri

  • Inovasi terhambat: Pekerja yang job hugging hadir secara fisik, tapi “absen secara psikologis”, sehingga kreativitas dan inovasi menurun.
  • Presenteeism meningkat: Fenomena di mana karyawan tetap datang bekerja tetapi produktivitas rendah karena minim motivasi.
  • Lingkungan kerja stagnan: Perusahaan terlihat stabil dari luar, tapi sebenarnya tidak ada pertumbuhan yang sehat.

3. Dampak Sosial

  • Meningkatnya sektor informal: Jika terlalu banyak pekerja bertahan di pekerjaan dengan keamanan minim, akan sulit meningkatkan kualitas tenaga kerja nasional.
  • Ketimpangan sosial melebar: Pekerja yang tidak bisa berkembang tetap berada di lingkaran kemiskinan meski sudah bekerja keras.

Rekomendasi: Jalan Keluar dari Job Hugging

  1. Bagi Pemerintah dan BPS
    • Memasukkan pertanyaan tentang motivasi bertahan di pekerjaan dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).
    • Menyediakan program pelatihan dan peningkatan keterampilan (reskilling & upskilling) untuk pekerja sektor informal, termasuk driver transportasi daring.
  2. Bagi Perusahaan dan Platform Online
    • Menawarkan program jenjang karier dan pelatihan untuk driver agar mereka bisa berkembang.
    • Transparansi dalam perhitungan tarif agar pekerja tidak merasa terjebak.
  3. Bagi Pekerja
    • Menggunakan fase job hugging untuk persiapan masa depan, seperti belajar keterampilan baru, memperluas jaringan profesional, dan menabung dana darurat.
    • Berani merencanakan langkah keluar dari zona nyaman saat situasi memungkinkan.

Kesimpulan

Fenomena job hugging di Indonesia nyata dan terlihat jelas di sektor transportasi daring.
Data BPS menunjukkan bahwa pasar kerja Indonesia masih penuh ketidakpastian, sementara survei Darustation menggambarkan betapa banyak pekerja yang bertahan hanya karena tidak ada pilihan lain.

Job hugging bukan sekadar masalah individu, tetapi tantangan sosial dan ekonomi. Jika tidak ditangani, Indonesia berisiko memiliki angkatan kerja yang stagnan: hadir secara fisik, tetapi kehilangan gairah untuk berkembang.
Solusi nyata membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja itu sendiri agar job hugging bisa berubah dari belenggu menjadi batu loncatan menuju masa depan yang lebih baik.

Add a Comment