Fenomena Kereta Atap dan Peran Daru Station Community dalam Modernisasi Jalur Hijau

Sebelum tahun 2012, kereta api rute Rangkasbitung – Tanah Abang yang melintas di jalur hijau atau “Green Line” dikenal sangat padat, terutama pada jam-jam sibuk. Kereta ekonomi yang menggunakan lokomotif diesel menjadi andalan transportasi masyarakat di wilayah tersebut. Dengan tarif yang murah, kereta ini menarik banyak penumpang meskipun fasilitasnya sangat minim. Situasi ini memaksa sebagian besar penumpang berdiri, bahkan hingga memanjat ke atap kereta meskipun sangat berbahaya.

Kereta Api Rangkasbitung (foto @beawiharta)

Selain minimnya jumlah rangkaian kereta, jalur ini semakin padat akibat pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di kawasan penyangga Jakarta seperti Rangkasbitung, Maja, Tigaraksa, dan Daru. Stasiun-stasiun di sepanjang jalur ini masih sederhana, dengan peron rendah dan infrastruktur yang kurang memadai untuk menampung volume penumpang yang terus meningkat.

Pada tahun 2011, saat volume penumpang di Stasiun Daru mencapai puncaknya, komunitas penumpang mengadakan aksi protes besar-besaran dengan memblokir jalur kereta. Protes ini merupakan ungkapan kekecewaan terhadap buruknya pelayanan kereta api saat itu, termasuk jadwal yang tidak menentu, rangkaian yang tidak mencukupi, dan kondisi kereta yang tidak layak. Meski mengganggu perjalanan kereta, aksi ini mendorong perhatian pemerintah untuk segera melakukan reformasi besar di sektor perkeretaapian.

Melalui peran aktif Daru Station Community (DSC), komunitas ini menjadi penghubung antara PT KAI dan Dirjen Perkeretaapian, Kemenhub RI. DSC juga berinisiatif menggalang komunitas lain di Stasiun Daru untuk mendukung kelancaran operasional kereta api, yang menjadi moda transportasi utama di jalur barat atau Rangkasbitung. Pada tahun 2012, DSC mulai mengadakan sosialisasi ke sekolah-sekolah di sekitar Stasiun Daru. Dalam kegiatan ini, mereka memperkenalkan pentingnya kehadiran KRL (Kereta Rel Listrik) sebagai moda transportasi yang lebih ramah lingkungan, modern, dan efisien. Harapannya, informasi ini dapat diteruskan oleh anak-anak kepada orang tua mereka, menciptakan kesadaran akan pentingnya modernisasi transportasi.

Saat revitalisasi Stasiun Daru dimulai, DSC meluncurkan program “Daru Green Station”. Program ini bertujuan memastikan sarana dan prasarana, seperti jalan yang memadai dan palang pintu perlintasan kereta, disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk mendukung aksesibilitas masyarakat dari desa-desa di sekitar Stasiun Daru. Dengan infrastruktur yang lebih baik, masyarakat dari berbagai wilayah di Kabupaten Tangerang dapat menikmati layanan transportasi yang optimal.

Di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai Direktur Utama PT KAI, reformasi besar dilakukan pada 2011-2012. Beberapa langkah modernisasi yang diambil meliputi:

  1. Penggantian kereta diesel dengan KRL listrik Commuter Line yang lebih ramah lingkungan dan efisien.
  2. Penambahan rangkaian kereta dan jadwal perjalanan untuk mengatasi lonjakan jumlah penumpang.
  3. Perbaikan fasilitas stasiun, seperti peninggian peron, loket elektronik, dan peningkatan pengawasan.
  4. Penegakan aturan, termasuk pemasangan portal anti-atap dan pemberian sanksi bagi penumpang yang melanggar aturan, seperti naik di atap kereta.

Transformasi ini secara signifikan meningkatkan keamanan dan kenyamanan penumpang. Jalur hijau yang dahulu identik dengan kepadatan kini telah berubah menjadi salah satu jalur Commuter Line yang tertib dan teratur. Kolaborasi komunitas seperti DSC membuktikan bahwa peran aktif masyarakat sangat penting dalam mendorong perubahan kebijakan transportasi publik.

Atapers KA Rangkasbitung (foto @beawiharta)

Fenomena kereta “penuh hingga atap” kini menjadi bagian dari sejarah transportasi urban di Indonesia, sementara modernisasi yang dilakukan oleh PT KAI bersama dukungan komunitas seperti DSC telah memberikan solusi jangka panjang bagi jutaan penumpang di jalur hijau. (DS)

Terima kasih untuk foto dari @beawiharta.

Add a Comment