Dari Wiwitan ke Beton: Ketika Tangerang Melupakan Alam dan Akar Budayanya

Dulu, ketika pagi hari di tanah Tangerang masih disambut oleh semilir angin sawah dan suara burung-burung liar, masyarakatnya punya cara sederhana untuk bersyukur. Saat padi mulai menguning, para petani berkumpul di pematang. Mereka membawa tumpeng, hasil bumi, dan doa yang tulus: inilah wiwitan, tradisi sakral yang diwariskan leluhur sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta dan alam semesta.

Namun kini, semua itu terasa jauh. Hamparan sawah telah berubah menjadi deretan perumahan, irigasi disulap menjadi saluran beton, dan suara gamelan digantikan deru kendaraan. Tangerang berubah—begitu cepat, begitu dalam.

🏙️ Ketika Modernisasi Menggeser Tradisi

Sebagai bagian dari Provinsi Banten yang memisahkan diri dari Jawa Barat pada tahun 2000, Tangerang berkembang pesat. Lokasinya yang strategis membuat wilayah ini menjadi magnet bagi urbanisasi dan proyek properti skala besar. Terlebih dengan hadirnya proyek Transit Oriented Development (TOD)—konsep pembangunan kawasan yang terintegrasi dengan transportasi massal.

Sekilas, TOD terdengar menjanjikan: efisien, terencana, dan modern. Tapi di balik itu, hampir seluruh lahan pertanian di Tangerang kini telah beralih fungsi. Kawasan-kawasan yang dulu produktif kini dipenuhi beton, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Petani yang dulu menyatu dengan tanah kini menjadi buruh bangunan atau petugas keamanan. Sementara itu, budaya seperti wiwitan perlahan menghilang—tak lagi dijalankan, bahkan tak dikenal oleh generasi muda.

🌱 Alam yang Terlupakan

Dulu, warga Tangerang tahu kapan harus menanam dan memanen. Mereka paham kapan tanah butuh istirahat. Mereka menghormati hutan kecil, sungai, dan pohon tua sebagai bagian dari keseimbangan hidup. Namun hari ini:

  • Air hujan tak lagi meresap karena semua tertutup beton.
  • Banjir menjadi rutinitas, bukan bencana.
  • Udara makin panas karena tak ada lagi ruang hijau.
  • Kehidupan sosial warga tercerai oleh pagar tinggi dan sistem klaster.

Modernisasi telah meminggirkan bukan hanya alam, tapi juga relasi manusia dengan lingkungannya. Tradisi wiwitan, yang sejatinya mengajarkan hidup dalam harmoni dengan bumi, tergantikan oleh gaya hidup konsumtif dan cepat saji.

🧭 Banten Kehilangan Arah?

Sebagai provinsi dengan kekayaan budaya dan sejarah besar seperti Banten Girang dan masyarakat adat Baduy, Banten seharusnya menjadi contoh bagaimana modernitas bisa hidup berdampingan dengan tradisi. Namun kenyataannya, Banten—terutama wilayah urban seperti Tangerang—justru terperosok dalam pola pembangunan yang abai terhadap budaya dan ekologi.

Pendatang dari berbagai daerah datang, membawa semangat modern yang sering kali tak berpijak pada tanah yang mereka tempati. Budaya lokal tergantikan oleh pusat-pusat hiburan dan gaya hidup instan. Sedikit demi sedikit, identitas lokal dan kesadaran ekologis pun luntur.

🌿 Darustation: Wiwitan Bisa Dimulai dari Hal Sederhana

Menurut pandangan Darustation, pelestarian budaya wiwitan tidak harus menunggu upacara besar di pematang sawah. Wiwitan bisa dimulai dari rumah, dari hal-hal kecil. Misalnya dengan menanam pohon, memelihara tanaman hijau, atau menciptakan taman kecil di halaman rumah.

Dengan menjaga keindahan alam di lingkungan sekitar, kita sebenarnya sedang melestarikan filosofi wiwitan—yakni hidup berdampingan dan bersyukur kepada alam.

🪴 Pot bunga di teras, vertical garden di dinding, atau sekadar merawat pohon tua di halaman, semua itu adalah bentuk wiwitan modern.
🌼 Ia tak butuh panggung, tapi butuh kesadaran.

✊ Saatnya Menulis Ulang Cerita Tangerang

Tangerang tak harus menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya soal gedung tinggi dan transportasi cepat. Ia harus menghormati alam dan budaya sebagai fondasi, bukan sekadar aksesoris.

Masih ada harapan. Tangerang bisa:

  • Menyisihkan ruang hijau dalam setiap perencanaan wilayah
  • Menghidupkan kembali tradisi lokal seperti wiwitan, bukan sekadar seremoni, tapi filosofi hidup
  • Melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kebijakan tata ruang
  • Mengajarkan anak-anak tentang pentingnya bersyukur pada tanah, bukan hanya mengejar nilai di sekolah
  • Dan seperti saran Darustation: mulai dari diri sendiri, dari rumah sendiri, dengan merawat hijau di sekitar kita

✨ Wiwitan: Warisan yang Masih Bisa Diselamatkan

Wiwitan bukan sekadar masa lalu. Ia adalah cermin masa depan. Tradisi ini mengajarkan kita untuk hidup bersyukur, menjaga keseimbangan, dan menyatu dengan lingkungan. Di tengah krisis iklim dan keterasingan manusia dari alam, budaya seperti wiwitan justru relevan lebih dari sebelumnya.

Kini, semuanya tergantung kita. Apakah kita akan terus membangun tanpa arah, atau mulai menata ulang relasi kita dengan tanah tempat kita berpijak?

Add a Comment