Catatan Pengajian Kitab Tajul ‘Arus (Mahkota Pengantin)
| Kajian Ba’da Ashar
Kitab: Tajul ‘Arus
Penceramah: K.H. Bukhori Sail Al-Tahiri, Lc., M.A.
Jabatan: Kepala Bidang Penyelenggara Peribadatan
Hari/Tanggal: Minggu, 27 April 2025
Tempat: Masjid Istiqlal, Jakarta
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang mempertemukan kita dalam majelis ilmu yang mulia ini. Sore ini, dalam suasana penuh keberkahan, kita bersama-sama mengkaji kitab Tajul ‘Arus, yang mengingatkan kita bahwa setiap manusia hakikatnya adalah pengantin yang kelak akan digiring menuju pertemuan agung di Padang Mahsyar.
Kata taj berarti mahkota, melambangkan kemuliaan yang akan dianugerahkan kepada hamba yang dicintai Allah SWT karena amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Dalam pengajian ini, kita mempelajari pentingnya memperbaiki
adab dan perilaku, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah SWT.
Ditekankan bahwa kita harus menghilangkan perhatian terhadap pandangan makhluk.
Jangan sibuk memikirkan bagaimana manusia menilai kita, tetapi fokuskan
perhatian kita kepada bagaimana Allah SWT menilai amal-amal kita.
Setiap orang memiliki perspektif masing-masing: ada yang
menyukai, ada pula yang membenci, meskipun kita telah berbuat sebaik mungkin.
Ibadah dan amal shalih yang kita lakukan hendaknya tidak dijadikan sebagai
ajang pameran, melainkan harus murni untuk mencari ridha Allah semata.
Contohnya, dalam membantu pembangunan mushola atau masjid, niatkanlah murni untuk Allah, bukan agar disebut sebagai orang baik.
Mengutip nasihat dari Ibnu ‘Athailah, tidak ada sesuatu yang
dapat membawa amal kita kepada Allah selain keikhlasan.
Allah tidak melihat rupa ataupun harta seseorang, melainkan melihat hati dan
amalnya. (Dalil: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian,
tetapi melihat hati dan amal kalian.”)
Orang yang ikhlas akan kuat dalam keimanan.
Bahkan saat berpuasa, meski tubuh terasa lemah, orang yang ikhlas tetap akan
diberi kekuatan oleh Allah.
Bagi penderita maag, jika puasanya diniatkan dengan tulus, Allah akan
memudahkan. Jika masih banyak keluhan, mungkin niatnya masih perlu diperbaiki.
Tentang Pujian dan Celaan:
Manusia pada dasarnya senang dipuji dan berat menerima celaan. Namun, orang
yang ikhlas tidak akan terombang-ambing oleh pujian atau hinaan.
Ketika seseorang dipuji sebagai alim, dermawan, atau orang baik, jangan sampai terjebak dalam kesenangan duniawi dan lupa kepada Allah.
Dalam hadits disebutkan, ada tiga golongan manusia yang akan dipertontonkan amalnya di hadapan Allah:
- Orang yang belajar, mengajar, dan menghafal Al-Qur’an.
- Orang kaya yang banyak bersedekah.
- Orang yang berjihad dan gugur di medan perang.
Namun, ketika dihisab, ternyata niat mereka bukan untuk Allah, melainkan untuk mendapatkan pujian manusia. Maka amal-amal tersebut tidak diterima.
Oleh karena itu, penting sekali menjaga niat dalam setiap
amal.
Banyak berbuat baik saja tidak cukup; harus disertai dengan keikhlasan.
Jika dalam hati masih ada keinginan untuk dipuji, berarti keikhlasan kita masih perlu diperbaiki.
Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang mukhlis
(ikhlas).
Jika kita masih bergantung pada pujian manusia, maka kita akan mudah goyah.
Lupakan pujian dan fokuslah sepenuhnya kepada Allah SWT.
Meskipun dipuji, dicium, dipeluk, atau dielu-elukan, jangan sampai keikhlasan
kita rusak.
Jangan membunuh keikhlasan hanya karena menikmati pujian.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menolong siapa yang Dia kehendaki.” (Q.S.
Ali Imran: 160)
Allah Maha Mengetahui isi hati manusia, bahkan jika seseorang pura-pura berbuat baik di hadapan manusia.
Penutup:
Orang mukhlis akan tetap tenang, meskipun dicaci atau dihina.
Kita harus terus menata hati dan memperbaiki keikhlasan dalam setiap amal.
Jika kita mampu menghilangkan ketergantungan pada pandangan manusia, Allah akan memudahkan setiap urusan kita.
Semoga Allah SWT membimbing kita semua menjadi hamba-hamba-Nya yang mukhlis, istiqamah, dan diterima semua amalnya di sisi-Nya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.