BUMDes vs Kopdes: Dua Wajah Ekonomi Desa yang Sering Disalahpahami

🏡Pernah dengar istilah BUMDes dan Kopdes?
Keduanya memang terdengar mirip — sama-sama “milik desa” dan sama-sama bicara tentang ekonomi kerakyatan. Tapi di balik kesamaannya, sebenarnya keduanya punya fungsi, dasar hukum, dan risiko yang sangat berbeda.

Mari kita bahas dengan santai, gaya ngopi sore di balai desa 😄☕


🌾 Apa Itu BUMDes (Badan Usaha Milik Desa)?

BUMDes adalah lembaga ekonomi resmi milik desa yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
BUMDes hadir sebagai “mesin penggerak ekonomi” desa, di mana modalnya bersumber dari APBDes, dan pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah desa.

Tujuannya jelas:

Meningkatkan kesejahteraan warga melalui usaha ekonomi produktif berbasis potensi lokal.

Contohnya bisa macam-macam:

  • Unit simpan pinjam atau jasa keuangan mikro
  • Usaha pertanian dan peternakan
  • Wisata desa
  • Pengelolaan air bersih, sampah, atau bahkan energi terbarukan

BUMDes ini secara struktur berada di bawah Kepala Desa, dan setiap keputusan besar harus disetujui oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).


🤝 Lalu, Apa Itu Kopdes (Koperasi Desa)?

Nah, Kopdes adalah bentuk kegiatan ekonomi masyarakat desa berbasis gotong royong yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Jadi, Kopdes bukan lembaga pemerintahan, melainkan badan usaha milik bersama warga desa, di mana setiap anggota punya hak suara yang sama.

Filosofinya adalah:

“Dari anggota, oleh anggota, untuk anggota.”

Kopdes lebih menekankan aspek partisipasi dan kepemilikan bersama. Modalnya bisa berasal dari simpanan anggota, hibah, atau hasil usaha.


🕰️ Siapa yang Lebih Dulu Ada: BUMDes atau Kopdes?

Kalau bicara sejarah, Koperasi Desa (Kopdes) jelas lebih dulu hadir dibanding BUMDes.
Koperasi sudah dikenal di Indonesia sejak masa pra-kemerdekaan, bahkan dipelopori oleh Bung Hatta sebagai bentuk perlawanan terhadap ekonomi kolonial.
Sementara BUMDes baru lahir secara hukum resmi pada tahun 2014, setelah UU Desa diberlakukan.

Artinya, BUMDes adalah generasi baru dari semangat ekonomi gotong royong, sementara Kopdes adalah cikal bakalnya.


⚠️ Bagaimana Jika Desa Belum Memiliki BUMDes, Tapi Sudah Mendirikan Kopdes Duluan?

Nah, di sinilah banyak desa sering tergelincir.

Mendirikan Kopdes tanpa fondasi kelembagaan yang jelas, apalagi tanpa BUMDes sebagai payung koordinasi ekonomi desa, bisa membawa risiko besar, di antaranya:

  1. 🚫 Tidak jelas struktur dan tanggung jawabnya
    Tanpa BUMDes, siapa yang menjadi pengawas? Kepala Desa tidak punya dasar hukum kuat untuk ikut mengatur, sehingga bisa timbul tumpang tindih antara urusan publik dan bisnis.
  2. 💸 Rawan konflik dan moral hazard
    Karena Kopdes bersifat sukarela dan tidak ada pengawasan resmi dari desa, risiko penyalahgunaan dana atau perbedaan kepentingan pribadi sangat tinggi.
  3. 🧾 Sulit mendapatkan akses pendanaan pemerintah
    Program-program bantuan ekonomi desa dari kementerian umumnya disalurkan melalui BUMDes.
    Jadi, jika desa belum punya BUMDes, Kopdes tidak bisa menerima langsung dana APBDes maupun program nasional.
  4. 🏚️ Ruang gerak ekonomi jadi terpisah-pisah
    Tanpa koordinasi BUMDes, kegiatan ekonomi desa bisa tumpang tindih — misalnya Kopdes bikin unit simpan pinjam, sementara ada kelompok tani yang juga buka usaha serupa tanpa arah bersama.

💡 Idealnya Bagaimana?

Idealnya, BUMDes dibentuk terlebih dahulu, agar seluruh kegiatan ekonomi masyarakat punya payung hukum dan arah strategis yang terencana.
Setelah itu, Kopdes bisa menjadi bagian atau mitra strategis dari BUMDes, bukan pesaingnya.

  • BUMDes berperan sebagai koordinator dan pengelola dana desa
  • Kopdes menjadi pelaku usaha yang mandiri dan partisipatif

Dengan sinergi seperti ini, desa tidak hanya punya lembaga ekonomi yang hidup, tapi juga punya sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan.


🌿 Penutup: Kembali ke Spirit Gotong Royong

Baik BUMDes maupun Kopdes, keduanya lahir dari satu semangat:

“Kemandirian ekonomi desa dan kesejahteraan bersama.”

Jadi bukan soal siapa yang lebih hebat, tapi bagaimana keduanya bisa bersinergi dalam semangat gotong royong — bukan saling bersaing, tapi saling menguatkan.

Karena ujungnya, desa bukan hanya tempat tinggal, tapi rumah bersama untuk tumbuh dan berdaya.

Add a Comment