Binwil, Pembangunan, dan Transparansi yang Masih Dicari di Desa Kita
|Kalau kamu tinggal di desa, mungkin kamu pernah dengar istilah Binwil — singkatan dari Bina Wilayah. Biasanya ini jadi agenda tahunan yang datang diam-diam, tapi sibuknya luar biasa. Tiba-tiba saja balai desa ramai, ibu-ibu PKK pakai seragam, camat datang, lalu ada penyambutan, tumpeng, dan kadang lomba.
Tapi sayangnya, masyarakat umum sering tak tahu menahu soal ini.
Tidak ada sosialisasi. Tidak ada ajakan terbuka.
Seolah-olah kegiatan desa hanya untuk “orang dalam” saja. Warga kebanyakan cuma jadi penonton atau bahkan tidak tahu sama sekali.
❓Apa Itu Binwil?
Binwil atau Bina Wilayah sebenarnya adalah program pembinaan dan evaluasi dari pemerintah kecamatan dan kabupaten kepada desa. Tujuannya mulia: memastikan pembangunan desa berjalan baik, pelayanan publik meningkat, dan pemberdayaan masyarakat benar-benar terasa.
Yang terlibat biasanya:
- Kepala desa dan perangkatnya,
- Tim pembina dari kecamatan,
- Perwakilan kabupaten,
- PKK desa,
- Lembaga masyarakat seperti Karang Taruna.
Namun dalam praktiknya, sering kali kegiatan ini jadi simbolik. Warga tidak diberi ruang untuk menyampaikan masukan, dan kegiatan dilaksanakan dengan nuansa seremonial yang kaku dan tertutup.
🧒 Peran Karang Taruna yang Terabaikan
Padahal, kalau mau bicara soal pemberdayaan masyarakat, Karang Taruna seharusnya jadi mitra utama. Mereka punya energi, kreativitas, dan semangat yang luar biasa. Tapi kenyataannya, Karang Taruna hanya diingat ketika ada acara lomba atau bersih-bersih.
Jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan desa, apalagi saat musyawarah soal anggaran.
Padahal, jika mereka diberi ruang, mereka bisa menjadi motor penggerak transparansi dan partisipasi warga.

🏗️ Pembangunan Kantor Desa yang Misterius
Salah satu hal yang bikin saya geleng-geleng adalah soal
pembangunan kantor desa.
Bayangkan, sejak tahun 2022 sudah dirancang dan dianggarkan pembangunan kantor
desa yang lebih layak. Tapi sekarang sudah masuk pertengahan 2025, bangunannya
belum juga selesai — apalagi diresmikan. Aktivitas pemerintahan desa pun masih
berlangsung di rumah kepala desa.
Yang lebih aneh lagi, tidak ada papan proyek.
Tidak ada informasi berapa besar anggarannya, siapa pelaksana proyeknya, kapan
mulai dibangun, dan kapan target penyelesaiannya.
Sebagai warga, kita cuma bisa menebak-nebak.
Dan di titik inilah, kita sadar bahwa transparansi di desa masih jadi barang mewah — padahal itu hak dasar masyarakat.

🧭 Lalu, Di Mana Camat?
Dalam sistem pemerintahan, camat punya peran penting sebagai pembina dan pengawas desa. Camat harusnya tahu perkembangan pembangunan, mengawasi pelaksanaan program, dan memastikan semua kegiatan desa berjalan dengan prinsip akuntabilitas.
Tapi dalam kasus pembangunan kantor desa ini, camat
seolah-olah tak hadir.
Tidak ada dorongan, tidak ada evaluasi terbuka, dan tidak ada tekanan kepada
desa untuk transparan. Padahal, jika benar-benar menjalankan fungsinya, camat
bisa:
- Meminta laporan berkala atas pembangunan fisik,
- Memastikan desa pasang papan proyek,
- Mengingatkan desa agar terbuka pada masyarakat,
- Mengundang Karang Taruna dan tokoh warga dalam forum evaluasi.
Sayangnya, hal-hal seperti ini masih sangat jarang terjadi.
✍️ Akhir Kata: Warga Butuh Diajak, Bukan Ditinggal
Binwil bisa jadi momentum bagus. Tapi akan sia-sia jika
tak melibatkan warga.
Pembangunan tak akan berarti kalau dilakukan diam-diam. Warga bukan objek, tapi
subjek utama. Transparansi bukan bonus, tapi kewajiban. Dan lembaga seperti
Karang Taruna seharusnya bukan hanya pelengkap upacara, tapi garda terdepan
perubahan desa.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti cuma “diam melihat.”
Sudah saatnya kita, warga desa, mulai bertanya, ikut hadir, dan terlibat.
Karena tanpa suara kita, desa akan terus jalan dalam gelap — dan yang paling
rugi adalah kita sendiri.(ds)