Apresiasi Sastra oleh Sapardi Djoko Darmono & Dewi Lestari di Galeri Indonesia Kaya
|Tidak seperti biasanya menurut petugas keamanan di depan Galeri Indonesia Kaya, para pengunjung ngantri mengular pada saat melakukan registrasi ulang di hari Kamis (8/10/2015) pada jam 18.00.sore ini. Memang saat saya mengantri belum mendaftar online di website www.indonesiakaya.com karena memang baru sehari diinformasikan oleh teman sesama blogger yang gemar puisi dan sajak. Kemungkinan tidak dapat masuk mejadi 99.99% karena kapasitas ruang pertunjukkan hanya cukup 150 orang sedangkan yang mengantri hampir melebihi kapasitas yang tersedia. Galeri Indonesia Kaya berada di Grand Indonesia, West Mall Lat 8, Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat.
Menjelang pertunjukkan dimulai akhirnya Saya hanya mendapatkan kesempatan menyaksikan melalui live streaming di luar ruang pertunjukkan. Sebuah layar tersedia dan disaksikan cukup banyak para pencinta puisi dan sajak. Dengan berdiri diterangi cahaya yang redup menambahkan hikmat saat awal pertunjukkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan bersama-sama.
Suara indah dari nyanyian yang dipadukan oleh iringan piano, tampak Dewi Lestari atau dipanggil Dee membacakan sajak-sajak indah diiringin irama musik yang bersesuaian. Kemudian sambil bernyanyi mengiringi suasana yang sejuk di malam hari. Dewi Lestari yang bernama pena Dee Lestari memulai karier sebagi penyanyi latar pada tahun 1993 mengiringi penyanyi legendaries Chrisye dan banyak penyanyi lain. Pada tahun 1995, ia bergabung denga trio ‘’Rida, Sita, Dewi’’ yang telah mengeluarkan empat album hingga akhir kebersamaan mereka pada tahun 2003.
Para penonton sungguh antusias menyaksikannya, setiap selesai sajak-sajak dan lagu-lagu yang ditampilkan selalu disambut tepuk tangan tanda gembira dan kagum. Memang menyenang jika dapat langsung menyaksikan didepan panggung. Namun diantara para penonton yang berdiri tampak seorang artis sinetron yang sempat Saya berkenalan, namanya Dinda Kanyadewi. Dia sangat menggemari sajak-sajak Sapardi Djoko Darmono. Karena beberapa waktu lalu di pameran Internasional Indonesia Book Fair (IIBF), JHCC, Senayan. Saya juga sempat menyaksikan dia dibarisan kursi paling depan panggung dengan wajah kagum mendengar tiap baris sajak yang dibacakan oleh Sapardi, yang biasa berbicara dengan gaya anak mudanya meskipun usia sudah sangat lanjut.
Berikut menjelang waktu bergulir Sapardi Djoko Damono, tampil dengan dipandu untuk menaiki tangga panggung. Usia boleh tua tetapi semangat berkarya harus tetap seperti usia muda. Enerjik dan humor menjadi bagian yang tak terpisahkan. Pak Sapardi dilahikan di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1940. Ia menulis puisi dan kemudian esai dan kritik sastra, sejak masih menjadi murid SMA. Ia telah menerbitkan sekitar 40 judul buku asli dan terjemahan antara lai n 10 buku puisi, lima novel, dua kumpulan cerpen dan belasan buku esai – asli dan terjemahan.
Sebuah sajak yang ditunggu-tunggu oleh para penonton yang ingin sekali dibacakan langsung oleh sang pujangga ini yakni,
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Semua mendengar kagum dengan kata-kata yang pas sajak dibacakan satu persatu tiap baris dengan pasti. Sebuah pertanyaan yang dijawab juga oleh beliau adalah Kenapa judul harus seperti itu dan dijawabnya bahwa tidak ada pernah hujan di bulan Juni, sehingga para pendengar akan tambah penasarankan…., ujar Pak Sapardi.
Memang usia tidak muda lagi tetapi judul ini menjadi sebuah buku novel yang telah di lauching di bulan Juni lalu. Inilah yang menjadikan saya kagum dan gemar membaca kisah beliau dan karya. Tetap semangat dan selalu berbagi pengetahuan dengan yang muda.
Menjelang akhir acara ditampilkan penyanyi Nana Tatyana dan gitaris Gupta Mahendra, yang membawakan sajak dalam tampilan musukalisasi. Sebelum bernyanyi Nana berbicara tentang pengalamannya membuat beberapa CD musikalisasi puisi Sapardi Djoko Darmono yang sudah dikerjakan bersama musisi dan penyanyi sejak tahun 1990-an. Acara ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan apresiasi sastra dan penyebarluaskan informasi mengenai kesusastraan Indonesia modern.
Berakhirnya acara pertunjukkan menjadi sebuah makna yang terus teringat dan kagum. Saat itu untuk meringankan kaki yang pegal waktu berdiri, Saya sempatkan duduk dikursi untuk menanti antrian keluar. Sambil bercerita dengan seorang wanita disamping kursi saya, ‘’…ternyata acara ini disambut hujan di sore hari di luar sana…,’’ ujarnya. Semoga dunia seni ini menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan digemari oleh generasi muda.