Ketika Kemunafikan Menyamar: Antara Hak dan Batil yang Kian Sulit Dibedakan

Di negeri yang menjunjung tinggi adat ketimuran, sopan santun dan basa-basi adalah kearifan lokal yang sering dibanggakan. Namun di balik senyum manis dan kata-kata ramah, terkadang tersembunyi realitas yang getir: kemunafikan. Ia bukan hanya soal berkata tidak jujur, tapi bisa menyelinap dalam bentuk yang nyaris tak terdeteksi—membungkus kebatilan dengan kemasan kebaikan, mencampuradukkan hak dengan batil.

📖 Al-Qur’an: Tentang Orang Munafik yang Tak Mudah Terlihat

Allah SWT berfirman:

“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
(QS. Al-Baqarah: 8-9)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemunafikan adalah penyakit hati yang samar, bahkan pelakunya pun seringkali tidak sadar. Di luar tampak baik, tapi di dalam hatinya ada niat dan keyakinan yang menyimpang.

📜 Hadis: Ciri-Ciri Kemunafikan yang Mengakar

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tanda orang munafik ada tiga: jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tiga ciri ini bukan hanya urusan ibadah, tapi sangat kontekstual dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia. Janji-janji politik yang manis, ucapan di media yang penuh kepalsuan, bahkan dalam komunitas kecil seperti RT atau majelis ta’lim pun bisa terjadi pengkhianatan amanah—semua ini adalah bentuk kemunafikan yang dianggap biasa.

🧠 Ulama: Munafik Zaman Dulu dan Sekarang

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa kemunafikan bisa menjadi perangkap bagi orang yang merasa paling saleh. Ia menyebut kemunafikan spiritual—di mana seseorang tampak sangat taat secara lahir, tapi semua itu dilakukan demi popularitas atau pujian manusia.

Di masa kini, kata para ulama kontemporer seperti Buya Hamka dan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), kemunafikan justru makin sulit dikenali karena sering berkedok agama, nasionalisme, bahkan ‘kepedulian sosial’. Padahal semua itu sekadar pencitraan.

🇮🇩 Dalam Budaya Indonesia: Antara Etika dan Kemunafikan

Budaya Indonesia dikenal penuh unggah-ungguh. Tapi kadang, batas antara sopan santun dan kepura-puraan menjadi kabur. Saat seseorang menutupi kebenaran demi menjaga “perasaan orang”, atau menahan kritik terhadap kezaliman demi harmoni, apakah itu bijaksana—atau justru bentuk lain dari kemunafikan?

Apalagi ketika banyak pejabat, tokoh masyarakat, bahkan aktivis yang tampil seolah membela rakyat, namun di balik layar justru terlibat dalam kompromi politik, suap, atau pengkhianatan pada amanah publik.

⚖️ Hak dan Batil: Ketika Kabur, Maka Berhati-hatilah

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Akan datang kepada manusia suatu masa, orang yang berpegang pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.”
(HR. Tirmidzi)

Hari ini, ketika yang batil dikemas sebagai kebaikan—dan yang hak justru dianggap ekstrem atau menyusahkan—maka kita wajib lebih berhati-hati. Jangan tergesa menilai orang dari penampilan dan kata-katanya saja.

🕯️ Refleksi: Apakah Kita Termasuk?

Kemunafikan bukan hanya milik orang besar. Ia bisa menyelinap dalam diri kita: saat kita pura-pura peduli, saat mengiyakan hal yang batil demi rasa nyaman, saat tak berani menegakkan kebenaran agar tetap disukai banyak orang.

✍️ Penutup

Di zaman yang serba ilusi ini, kemunafikan menjelma menjadi budaya, bahkan kadang tak terasa lagi sebagai dosa. Maka satu-satunya cara agar tak tersesat adalah kembali pada Al-Qur’an, meneladani Rasulullah, dan belajar dari ulama yang jujur.

Karena sejatinya, hak dan batil itu tidak berubah. Yang berubah adalah cara kita memandangnya, seiring dengan lemahnya iman dan kuatnya godaan dunia.

Add a Comment