Gaza, Luka yang Menyala Jadi Lentera
|Pertemuan Tak Terduga di Tengah Lautan Buku: Sebuah Catatan dari JCC 2025
Langit Jakarta siang itu terasa lebih teduh, meski di luar JCC Senayan, panas menyengat seperti biasa. Ribuan orang mengalir masuk ke gedung pameran, memenuhi koridor demi koridor di Islamic Book Fair 2025. Di antara pengunjung itu, saya — Mohamad Sobari dari Darustation — berjalan pelan, menelusuri rak-rak buku yang penuh warna dan judul-judul menggugah.
Namun langkah saya terhenti saat mata tertuju pada sebuah sudut yang tampak sederhana. Di sana, berdiri sosok yang sudah lama saya kagumi dari kejauhan: Muhammad Husein Gaza — jurnalis, aktivis, dan saksi hidup dari reruntuhan Gaza.

🌍 Dari Bogor ke Gaza: Jalan Sunyi Seorang Ustadz
Kami berjabat tangan. Senyum Husein hangat, tapi di matanya
ada luka yang tenang. Ia menyerahkan buku yang baru saja diluncurkan:
“Gaza: Surat Cinta yang Ditulis dengan Luka”.
Buku ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah catatan perjalanan jiwa. Dari pesantren di Bogor hingga jalanan berdarah Gaza, Husein tidak hanya menjadi pengamat—ia hidup di dalamnya. Selama 13 tahun, ia menyaksikan kehancuran, menyentuh mayat syuhada, dan mencium kening anak-anak yang tidur di bawah gemuruh pesawat tempur.
🧠 Membongkar Narasi, Menyuarakan Kebenaran
Kami berbincang sebentar. Saya bertanya, “Apa yang ingin antum sampaikan lewat buku ini?”
Husein menjawab pelan, “Bahwa Gaza bukan hanya tentang konflik. Ia adalah cermin global—tentang ketidakadilan yang sistematis, diamnya dunia, dan kekuatan sebuah harapan.”
Buku ini menggugah bukan hanya karena fakta-fakta historisnya—seperti Deklarasi Balfour dan skema ideologis Zionisme—tetapi karena cara penyampaiannya yang puitis, personal, dan reflektif. Ini bukan laporan dingin. Ini adalah surat cinta yang berdarah, ditulis dengan tinta perjuangan dan air mata.
🇮🇩 Indonesia dan Gaza: Dari Donasi ke Diplomasi Bermartabat
Salah satu bab yang membuat saya termenung adalah tentang peran generasi muda Indonesia. Husein menantang kita untuk melampaui “kultur donasi insidental” menuju strategi pembebasan yang utuh. Ia mengajak kita membangun pemahaman, menyuarakan narasi tandingan, dan mendorong diplomasi berprinsip yang tidak takut menyebut penjajah sebagai penjajah.
Indonesia, katanya, harus berani menjadi suara keadilan—bukan hanya di mimbar, tapi juga di ruang negosiasi dunia.
👶 Gaza dalam Mata Anak-anak: Mukjizat dari Reruntuhan
Buku ini juga menampilkan kisah anak-anak Gaza—mereka yang kehilangan rumah, orang tua, bahkan kaki dan tangan, tapi masih memiliki cahaya di mata dan hafalan Al-Qur’an di dada. Di sinilah saya merasa buku ini bukan sekadar narasi kesedihan, tapi kisah mukjizat kemanusiaan.
🖋️ Dari Puing Kami Menulis Sejarah
Kalimat penutup Husein begitu menggugah:
“Kami menulis sejarah bukan dengan pena, tapi dengan puing-puing rumah
kami, darah saudara kami, dan doa yang tidak pernah putus.”
Dan saya percaya, buku ini adalah salah satu puing itu—yang akan jadi fondasi kesadaran baru bagi kita semua.

✍️ Refleksi Darustation
Di tengah derasnya disinformasi global, suara seperti Muhammad Husein Gaza sangat berharga. Buku ini bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungkan dan dijadikan panduan perjuangan. Ia menuntun kita dari empati menuju aksi, dari narasi menuju strategi, dari donasi menuju revolusi akal sehat dan nurani.
Saya, mewakili Darustation, merasa beruntung bisa bertemu langsung dengan penulisnya. Semoga pertemuan ini menjadi awal dari kolaborasi dakwah dan edukasi yang lebih besar—untuk Palestina, dan untuk kemanusiaan. (ds)