Dominasi Kelompok Politik Berbasis Agama dalam Tata Kelola Perumahan: Analisis Sosial atas Ketimpangan Warga dan Erosi Nilai Gotong Royong
|Oleh Mohamad Sobari – Pengamat Sosial Kemasyarakatan & Komunitas, Darustation
Abstrak
Perkembangan kawasan perumahan baru di wilayah urban dan semi-urban Indonesia tidak hanya menghadirkan persoalan tata ruang dan kependudukan, tetapi juga membuka ruang bagi dominasi kelompok sosial-politik berbasis agama. Penelitian ini mengkaji dinamika internal sebuah perumahan yang dipengaruhi oleh kelompok partai berbasis agama, dengan keterlibatan aktif pengurus RT/RW, ketua BPD, serta developer. Warga netral dan non-politik mengalami keterpinggiran, sementara nilai gotong royong dan toleransi mengalami pergeseran makna. Di tengah praktik money politics terselubung, artikel ini mempertanyakan aktor dan sistem yang memperbesar ketimpangan ini.

1. Pendahuluan
Perumahan bukan hanya ruang fisik tempat tinggal, melainkan juga ruang sosial-politik tempat berbagai kepentingan berinteraksi. Dalam banyak kasus di Indonesia, kawasan perumahan modern yang awalnya dirancang sebagai ruang hidup netral, justru menjadi ladang konsolidasi kekuasaan kelompok berbasis agama dan politik. Hal ini berimplikasi pada proses pengambilan keputusan, relasi antarwarga, serta tata kelola aset publik seperti fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum).
2. Kelompok Politik Berbasis Agama dalam Perumahan
Dominasi kelompok berbasis agama dalam perumahan tidak serta-merta negatif. Banyak di antara mereka membawa semangat solidaritas, dakwah sosial, dan program keumatan. Namun, dalam praktik di lapangan, kelompok ini tidak hanya membangun jaringan spiritual, tetapi juga menguasai ruang sosial dan struktural, seperti:
- Menentukan arah kegiatan warga.
- Mengatur proses pemilihan RT/RW secara terselubung.
- Memengaruhi developer dalam distribusi fasilitas.
- Menghubungkan kepentingan kelompok dengan kekuasaan desa.
Spiritualitas digunakan sebagai pembenaran moral untuk dominasi politik, bukan sebagai fondasi keadilan sosial.
3. Peran Strategis RT/RW dan Pengaruh terhadap Pemerintah Desa
Pengurus RT/RW, yang seharusnya menjadi representasi netral warga, sering kali terkooptasi oleh kelompok dominan. Dalam studi lapangan, ditemukan pola:
- RT/RW berkoordinasi lebih intens dengan kelompok partai dibanding warga umum.
- Surat-menyurat dan program bantuan difokuskan kepada pendukung kelompok.
- Pemerintah desa cenderung mengabaikan keluhan warga netral.
RT/RW bahkan ikut menghalangi proses pengalihan aset fasos-fasum dari developer ke pemerintah karena takut kehilangan kontrol simbolik atas fasilitas lingkungan.
4. Modus Operandi Ketua BPD sebagai Aktor Kunci
Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa), sebagai organ representasi desa, sering menjadi bagian dari skema kekuasaan. Dalam kasus yang dikaji:
- Ketua BPD tinggal di perumahan yang dikuasai kelompok partai.
- Menjadi bagian dari jaringan komunikasi tertutup dengan developer.
- Tidak menjalankan fungsi check and balance terhadap kepala desa atau RT.
- Terindikasi menerima fasilitas khusus meskipun tanpa bukti formal.
Akibatnya, fungsi pengawasan desa menjadi tumpul.
5. Warga Non-Politik: Menjadi Penonton di Rumah Sendiri
Warga netral atau tidak berafiliasi politik sering mengalami marginalisasi sosial:
- Tidak dilibatkan dalam forum warga strategis.
- Diabaikan dalam distribusi bantuan atau fasilitas.
- Dicap “tidak aktif” karena tidak mengikuti kegiatan kelompok.
Ini melahirkan fenomena “kewargaan samar,” di mana status administratif diakui tetapi eksistensi sosial disingkirkan.
6. Erosi Nilai Gotong Royong dan Toleransi
Nilai gotong royong dan toleransi mengalami komodifikasi:
- Gotong royong menjadi ajang eksistensi kelompok.
- Toleransi dipahami sebagai pasifisme, bukan penerimaan sejati.
- Kritik dianggap provokasi, bukan partisipasi.
Toleransi menyusut menjadi basa-basi, dan gotong royong hanya memenuhi kepentingan kelompok.
7. Money Politics sebagai Budaya Baru Kehidupan Lingkungan
Praktik politik uang atau pemberian material telah menjadi bagian dari relasi kekuasaan:
- Pemberian paket sembako saat kampanye pemilihan RT.
- Bantuan dengan label partai.
- Dana kegiatan warga hanya cair saat kelompok dominan mengizinkan.
Kondisi ini mendorong warga untuk pragmatis: ikut kelompok demi fasilitas.
8. Refleksi: Siapa yang Salah?
Siapa yang salah?
- Kelompok politik yang memanfaatkan jaringan spiritual?
- RT/RW yang memilih nyaman daripada netral?
- Developer yang tunduk pada kelompok dominan?
- Pemerintah desa yang abai?
- Atau warga yang memilih diam?
Semua berperan, dengan kadar berbeda. Sistem ini bekerja karena banyak orang membiarkannya terjadi.
9. Solusi: Mengembalikan Fungsi Sosial dan Tata Kelola Warga
Untuk mengatasi persoalan di atas, beberapa langkah strategis perlu diambil:
- Transparansi dalam pemilihan RT/RW, dengan sistem partisipatif dan non-politis.
- Penegakan regulasi agar developer wajib menyerahkan fasos-fasum sesuai aturan.
- Pengawasan independen oleh warga terhadap pengurus RT/RW dan keterlibatan BPD.
- Pendidikan politik warga, agar masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka serta tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan jangka pendek.
- Forum komunikasi warga lintas kelompok untuk membangun kembali kepercayaan sosial dan nilai gotong royong sejati.
Permasalahan ini juga dapat dikategorikan sebagai bentuk modern dari praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme):
- Korupsi dalam bentuk pengalihan fasilitas demi kepentingan pribadi.
- Kolusi antara kelompok warga, RT, BPD, dan developer.
- Nepotisme dalam bentuk pengutamaan warga atau kelompok tertentu atas dasar kesamaan jaringan politik/agama.
Dengan menyadari bentuk KKN yang tersembunyi dalam skala mikro ini, warga dan pemerintah lokal harus bertindak cepat agar demokrasi lokal tidak runtuh oleh kepentingan jangka pendek.
10. Peran Kepala Desa: Kunci atau Justru Bagian dari Masalah?
Peran kepala desa menjadi sangat krusial dalam menyikapi fenomena ini. Kepala desa yang kuat, jujur, dan berani mengambil sikap netral dapat menjadi kunci utama dalam membongkar praktik kolutif antara RT/RW, BPD, dan kelompok politik tertentu. Namun, pada kenyataannya, kepala desa sering kali justru menjadi bagian dari jejaring kekuasaan tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kepala desa yang mudah dikendalikan oleh kelompok dominan cenderung mendapatkan dukungan politik yang solid saat pemilihan kepala desa (pilkades). Dalam banyak kasus, dukungan itu menjadi alat tukar politik—di mana pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan kepala desa ditutup-tutupi oleh kelompok yang sama, selama kepentingan mereka tetap terjaga.
Dengan demikian, netralitas dan integritas kepala desa harus dijaga melalui:
- Sistem evaluasi kinerja secara terbuka.
- Mekanisme pengaduan warga yang tidak dibatasi oleh jalur politik.
- Keterlibatan LSM atau lembaga pengawas independen di tingkat desa.
Jika kepala desa mampu berdiri di atas semua golongan dan menjalankan peran sebagai pemimpin komunitas, bukan sekadar tokoh politik lokal, maka jalan perubahan menuju keadilan sosial bisa dibuka lebih lebar.

11. Penutup: Jalan Menuju Keadilan Sosial Warga
Diperlukan:
- Reformasi pemilihan RT/RW secara transparan dan inklusif.
- Pemisahan kepentingan politik dan fasilitas publik.
- Pengawasan terhadap kolusi pengurus dan developer.
- Pendidikan warga tentang hak sosial dan tata kelola lingkungan.
- Kepala desa yang kuat, netral, dan jujur sebagai pemimpin moral komunitas.
Hanya dengan itu, warga bisa kembali punya suara, dan gotong royong kembali pada esensinya.
Referensi
- Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
- Kurniawan, A. (2020). Politik Lokal dan Dinamika Sosial Komunitas. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia.
- Taufik, M. (2019). Kepemimpinan RT/RW di Tengah Polarisasi Politik. ResearchGate.
- Wahyudi, T. (2022). Relasi Kuasa dan Representasi di Wilayah Perumahan Urban. UGM Press.