Di Balik Senyuman Desa

Mentari pagi menyembul perlahan di balik bayang sawah yang menghijau membentang di sisi rel kereta dan perumahan baru yang merangsek masuk ke tepian desa. Embun masih enggan pergi dari pucuk-pucuk padi. Suara ayam bersahutan, menyambut hari yang menggeliat di salah satu sudut Kabupaten Tangerang.

Desa ini tampak hidup. Semangat gotong royong masih terlihat, meski tak sekuat dulu. Warga berkumpul tanpa undangan resmi. Ada kesepahaman tak tertulis. Para lelaki membawa cangkul dan linggis. Para ibu mengiringi dengan rantang berisi nasi uduk, sambal terasi, dan teh manis yang dibagi dengan tulus.

Tapi tidak semua ikut kerja. Tidak semua turun tangan. Ada yang hanya datang untuk dilihat hadir, ada pula yang diam-diam menerima upah dari proyek desa yang disebut gotong royong. Sisanya tetap datang—karena cinta pada tanah ini, bukan pada janji-janji.

“Pak Kades datang,” bisik seorang ibu pelan, membenahi selendangnya sambil celingukan.

Spontan, pandangan mengarah ke jalan desa. Tapi ternyata bukan. Pak Kades memang jarang terlihat jika tak ada acara penting atau tamu dari kabupaten.

Senyum tetap mengembang, tapi kini penuh perhitungan. Di balik keramahtamahan itu, ada euwe pakewuh—rasa segan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hormat yang dalam, tapi terkadang menyesakkan.

Pak Kades biasanya tampil bersama Ketua BPD yang kini lebih sering jadi juru bicara dan satu dua “orang kepercayaan.” Warga tahu siapa mengatur dan siapa dibawa sebagai simbol. Tak ada yang berani tanya. Kekuasaan di desa ini mengalir seperti air tenang, tapi mengendap dalam lingkaran yang itu-itu saja.

Musyawarah desa? Mirip pertunjukan wayang. Ada yang mendalang, ada yang bicara lantang, dan ada pula yang hanya menunduk atau sekadar mengangguk di waktu yang dianggap tepat.

Simbol-simbol semangat kebersamaan tetap dijaga. Gotong royong jadi wajah luar. Toleransi jadi kata indah dalam pidato. Tapi di dalamnya, perlahan menjalar: kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Namun perubahan tak bisa selamanya dicegah.

Anak-anak muda mulai merasa. Mereka tak lagi sekadar jadi penonton. Mereka memang belum lantang bersuara, tapi diam-diam mereka gelisah. Mereka mulai membaca ulang arti budaya dan adat—bukan sebagai alat kekuasaan, tapi sebagai warisan untuk diluruskan.

Mereka sadar bahwa diam bukan pilihan.

Desa ini akan berubah.

Sebab gotong royong bukan tameng.
Toleransi bukan alat tutup mulut.
Dan rasa sungkan tak boleh jadi alasan untuk diam terhadap kebusukan.

Kini saatnya memilah warisan.
Yang luhur harus dijaga.
Yang rusak, meski dibungkus adat, harus ditinggalkan.

Sebab warisan terbaik bukanlah kekuasaan yang diturunkan,
melainkan kejujuran, keberanian, dan keberpihakan pada masa depan.

Add a Comment