Kang Dedi Mulyadi: Bapak Aing yang Gercep, Pemimpin dari Desa untuk Jawa Barat
|Kadang, pemimpin itu nggak harus yang selalu pakai jas, duduk di balik meja besar, atau sibuk ngurusin rapat-rapat formal. Justru, pemimpin sejati seringkali lahir dari desa—dari tanah yang berdebu, dari suara rakyat kecil yang tulus. Dan kalau bicara soal pemimpin seperti itu, Kang Dedi Mulyadi jelas jadi salah satu yang paling menonjol.
Orang Sunda bilang, “bapak aing pisan ieu mah!” Sosok yang merakyat, gercep (gerak cepat), dan nggak gengsi turun langsung ke lapangan. Dari jalan rusak, anak putus sekolah, sampai keluhan harga kebutuhan pokok—semua ditanggapi dengan sigap, tanpa banyak drama.

Belajar dari Desa, Memimpin Jawa Barat
Kang Dedi tumbuh dari desa, paham betul rasanya jadi rakyat biasa. Dan justru dari situlah kekuatannya. Ia nggak segan duduk bareng di warung kopi, ngobrol dengan petani, atau makan bersama pedagang kecil. Karena buat Kang Dedi, memimpin itu bukan soal jabatan, tapi soal pelayanan.
Kalau lihat media sosialnya, kita bisa lihat sendiri bagaimana ia keliling ke pelosok, menyapa warga, mendengar langsung masalah mereka, lalu langsung cari solusi di tempat. Gercep, bukan pencitraan. Dan yang bikin makin respek: ia selalu bangga pakai identitas Sunda. Dari bahasa, pakaian adat, hingga filosofi hidup—semua dibawa naik kelas.
Gubernur Banten, Sudah Mulai Mengikuti Jejak?
Nah, sekarang kita geser sedikit ke barat. Gubernur Banten juga mulai menunjukkan semangat yang mirip. Beliau kini mulai aktif turun ke lapangan, responsif terhadap keluhan masyarakat, dan mulai menata banyak hal di Banten.
Tapi, jujur saja… masih terasa “baru mulai”. Belum segercep Kang Dedi yang udah terbiasa terjun langsung tanpa protokol panjang. Tapi tetap, kita apresiasi langkah-langkah awal ini. Asal konsisten dan tulus, rakyat pasti merasakan hasilnya.

Sekali-sekali, Coba Pakai Bahasa Sunda!
Satu hal yang bisa ditiru lagi dari Kang Dedi: bahasa lokal! Kang Dedi sering menyelipkan bahasa Sunda dalam pidatonya. Bukan karena keren-kerenan, tapi karena bahasa itu punya daya—bisa menyentuh hati rakyat lebih dalam.
Nah, Gubernur Banten juga bisa mencoba hal ini. Apalagi di wilayah seperti Pandeglang, Lebak, Rangkasbitung, banyak warga yang masih menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Jadi nggak ada salahnya kalau sesekali menyapa dengan:
“Wilujeng enjing sadayana, kumaha damang? Mugia sadayana salamet jeung dipaparin kasehatan.”
Atau:
“Sakedik abdi hoyong ngadenge langsung ti warga. Naon nu keur dirasakeun ayeuna? Kumaha abdi tiasa ngabantos?”
Bayangkan dampaknya, betapa warga akan merasa dihargai dan merasa lebih dekat dengan pemimpinnya. Bahasa itu jembatan rasa. Apalagi kalau disampaikan dengan tulus, bukan sekadar formalitas.
Pemimpin yang Bangun Rasa, Bukan Cuma Bangun Kota
Kita butuh pemimpin yang bukan cuma membangun jalan dan gedung, tapi juga membangun rasa percaya, rasa aman, dan rasa memiliki. Dan itu semua dimulai dari komunikasi yang dekat dengan akar budaya. Sunda di Banten itu hidup, bukan sekadar sejarah. Maka layak dirawat, dimuliakan, dan dijadikan bagian dari kepemimpinan yang membumi.
Saatnya Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Gubernur Banten dan Kang Dedi sebenarnya bisa jadi kolaborator yang luar biasa. Sama-sama dari akar Sunda, sama-sama peduli rakyat, dan sama-sama punya semangat kerja nyata. Daripada saling bersaing, lebih baik saling menguatkan. Karena rakyat butuh lebih dari sekadar janji. Mereka butuh tindakan.
Mari kita doakan agar makin banyak pemimpin seperti Kang Dedi Mulyadi—yang sederhana tapi berdampak, yang merakyat tapi tetap tegas. Dan semoga Gubernur Banten juga bisa ikut mewarnai kepemimpinan dengan rasa Sunda, dengan semangat membumi dan bahasa hati. (DS)
#KangDediMulyadi #GubernurBanten #PemimpinRakyat #BahasaSundaHidup #BapakAingGercep #BanggaJadiOrangDesa #SundaNgahiji