Autisme Sosial di Tengah Masyarakat Modern: Penyebab, Dampak, dan Solusi Ekstrem untuk Perubahan

Autisme sosial adalah fenomena yang semakin sering dibahas dalam kehidupan modern. Istilah ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari interaksi sosial atau menghadapi kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal, meskipun tidak secara medis terkait dengan Gangguan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD). Fenomena ini lebih terkait dengan pola perilaku yang muncul akibat tekanan budaya, teknologi, dan perubahan sosial.

Autisme Sosial

Pengertian Autisme Sosial

Autisme sosial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang memilih atau tidak mampu untuk berinteraksi secara sosial dengan lingkungannya. Hal ini dapat ditandai dengan isolasi diri, kurangnya kemampuan komunikasi, atau ketidakmauan untuk terlibat dalam aktivitas sosial. Berbeda dengan autisme yang merupakan gangguan perkembangan neurologis (ASD), autisme sosial lebih sering disebabkan oleh faktor eksternal seperti pola hidup, tekanan sosial, atau pengaruh teknologi.

Autisme Sosial di Lingkungan Sekitar

Fenomena ini dapat terjadi di berbagai tempat, termasuk:

  • Sekolah: Anak-anak atau remaja yang lebih memilih bermain gadget daripada berinteraksi dengan teman-temannya.
  • Tempat kerja: Karyawan yang lebih banyak berkomunikasi melalui email atau pesan teks daripada berdiskusi secara langsung.
  • Keluarga: Anggota keluarga yang jarang berbicara satu sama lain karena sibuk dengan perangkat elektronik.
  • Masyarakat umum: Orang-orang yang cenderung menghindari keramaian atau aktivitas komunitas.
  • Lingkungan yang Tidak Terurus: Di masyarakat yang tidak peduli dengan keadaan lingkungannya, seperti jalan rusak, polusi udara, gangguan kebisingan, atau lingkungan yang tidak tertata (misalnya, alih fungsi taman menjadi lapak pedagang), autisme sosial dapat berkembang. Ketidakpedulian ini sering kali diperparah oleh dampak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), di mana pejabat desa atau anggota masyarakat enggan berinteraksi untuk mencari solusi bersama.
  • Perilaku Orang Kaya Baru (OKB): Perilaku OKB yang membeli banyak rumah di perumahan untuk dijadikan kontrakan dapat menyebabkan masalah, seperti keluar masuknya penghuni dengan karakter yang bermacam-macam. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial dan jarak sosial antara penghuni asli perumahan dengan para penghuni kontrakan, serta dapat memperburuk kondisi sosial di lingkungan tersebut.
  • Aktivitas Ekonomi yang Tidak Tertib: Pemilik warung yang menggunakan mobil bak berkapasitas besar untuk mendistribusikan produk seperti air mineral dan gas sering kali merusak jalan, sehingga memengaruhi kualitas hidup masyarakat sekitar. Hal ini menambah beban sosial dan infrastruktur yang tidak dikelola dengan baik.
  • Tidak Adanya Tokoh Panutan: Ketidakadaan tokoh masyarakat atau pemimpin yang dapat memberikan contoh baik kepada warga menjadi salah satu penyebab utama berkembangnya autisme sosial. Masyarakat kehilangan figur inspiratif yang dapat memotivasi mereka untuk peduli terhadap lingkungan sekitar dan membangun hubungan sosial yang positif.

Penyebab Autisme Sosial

Beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan autisme sosial antara lain:

  • Teknologi: Ketergantungan pada perangkat digital, seperti smartphone, membuat banyak orang merasa lebih nyaman berinteraksi secara virtual daripada secara langsung.
  • Budaya Individualisme: Meningkatnya nilai individualisme dalam masyarakat modern menyebabkan orang lebih fokus pada diri sendiri daripada membangun hubungan sosial.
  • Tekanan Sosial: Rasa takut akan penilaian negatif atau kritik dari orang lain dapat membuat seseorang enggan bersosialisasi.
  • Kurangnya Pendidikan Sosial: Tidak semua individu dibekali keterampilan komunikasi dan empati sejak dini.
  • Kesehatan Mental: Stres, kecemasan, atau depresi dapat memperburuk isolasi sosial.
  • Ketidakadilan Sosial: Ketidakpedulian terhadap masalah lingkungan dan dampak KKN menciptakan rasa frustrasi kolektif yang mendorong isolasi sosial.
  • Keterlibatan Tokoh Masyarakat yang Tidak Efektif: Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pengurus RT/RW yang seharusnya menjadi panutan sering kali justru tidak memanfaatkan posisinya untuk mendorong interaksi sosial yang sehat. Sebaliknya, ketidaktegasan atau kepentingan pribadi mereka memperburuk situasi.

Dampak Autisme Sosial

  • Hilangnya Solidaritas Komunitas: Kurangnya interaksi sosial membuat hubungan antarwarga menjadi renggang.
  • Kerusakan Lingkungan dan Infrastruktur: Ketidakpedulian terhadap lingkungan menyebabkan jalan rusak, polusi udara meningkat, dan fasilitas umum terbengkalai.
  • Meningkatnya Ketimpangan Sosial: Kurangnya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah memperburuk kesenjangan sosial.
  • Penurunan Kualitas Hidup: Isolasi sosial berdampak pada kesehatan mental dan emosional individu.

Solusi untuk Mengatasi Autisme Sosial Secara Ekstrem

Mengatasi autisme sosial memerlukan pendekatan yang lebih tegas, termasuk:

  • Evaluasi Peran Tokoh Masyarakat dan Pemimpin Lokal: Mengganti tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pengurus RT/RW yang tidak aktif atau memperburuk isolasi sosial dengan individu yang lebih kompeten dan berintegritas.
  • Sanksi bagi Pelanggar Aturan Sosial: Memberikan sanksi tegas bagi pelaku aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan, seperti denda atau pencabutan izin usaha.
  • Revitalisasi Lingkungan Sosial: Memaksimalkan fungsi ruang publik, seperti taman dan balai warga, sebagai tempat interaksi sosial.
  • Penguatan Regulasi Pemerintah: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah lokal dalam menangani masalah infrastruktur dan lingkungan.
  • Kampanye Kesadaran Kolektif: Menggalakkan kampanye nasional untuk mengatasi autisme sosial dengan melibatkan media, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat.

Peran Budaya dan Agama

Budaya dan agama memiliki peran penting dalam membangun interaksi sosial yang sehat. Misalnya:

  • Budaya Gotong Royong: Dalam masyarakat Indonesia, tradisi gotong royong dapat menjadi sarana mempererat hubungan antarindividu.
  • Nilai Keagamaan: Agama mengajarkan pentingnya silaturahmi, empati, dan kasih sayang terhadap sesama. Kegiatan keagamaan seperti pengajian, misa, atau upacara adat dapat menjadi ruang untuk memperkuat interaksi sosial.
  • Penghormatan terhadap Sesepuh: Budaya menghormati orang tua dan sesepuh mengajarkan pentingnya membangun hubungan yang harmonis.
Budaya dan Agama : Fondasi Kehidupan Sosial

Kesimpulan

Autisme sosial adalah tantangan yang nyata di era modern. Dengan memahami penyebab dan dampaknya, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasinya, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan penuh empati. Budaya dan agama sebagai fondasi kehidupan sosial juga memiliki peran besar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung hubungan antarindividu. Dengan kerjasama semua pihak, autisme sosial bukanlah masalah yang tidak dapat diatasi. (DS)

Add a Comment