Budaya Ewuh Pakewuh di Lingkungan RT/RW: Harmoni atau Penghambat Keadilan?

Budaya ewuh pakewuh merupakan bagian dari nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia yang berakar pada rasa hormat, kesopanan, dan penghargaan terhadap orang lain. Meski memiliki sisi positif dalam menjaga keharmonisan sosial, budaya ini sering kali membawa dampak negatif jika diterapkan secara berlebihan, terutama dalam konteks kehidupan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Di lingkungan RT dan RW, budaya ini kerap menciptakan situasi “tajam ke bawah, tumpul ke atas”, di mana orang-orang dengan kekuasaan atau posisi tinggi lebih jarang mendapat teguran atau koreksi, sementara warga biasa sering menjadi sasaran aturan yang diterapkan secara ketat. Ketidakjujuran dan bias dalam menegakkan keadilan sering muncul akibat budaya ini, terutama ketika peran tokoh masyarakat dan tokoh agama tidak bersikap adil dalam mengedepankan kebenaran.


Pengaruh Budaya Ewuh Pakewuh dalam Kehidupan Sosial

Sisi Positif

  1. Menjaga Keharmonisan dan Kesopanan
    Ewuh pakewuh membantu menciptakan hubungan sosial yang harmonis dengan menghindari konflik terbuka. Masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam bertindak atau berkata-kata demi menjaga perasaan orang lain.
  2. Memperkuat Tali Silaturahmi
    Dalam beberapa situasi, budaya ini membantu menciptakan solidaritas sosial. Orang sering mengalah atau membantu demi menjaga hubungan baik antarwarga.
  3. Mencerminkan Nilai Kesantunan
    Perasaan sungkan yang lahir dari ewuh pakewuh sering kali mencerminkan penghormatan kepada orang tua atau pihak yang dianggap lebih tinggi.

Sisi Negatif

  1. Melanggengkan Ketidakjujuran
    Rasa segan untuk mengkritik atau menegur pihak tertentu, terutama yang berkuasa atau memiliki posisi tinggi, membuat ketidakjujuran sering kali dibiarkan. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial yang merugikan warga biasa.
  2. Menghambat Keberanian Berpendapat
    Banyak warga memilih diam atau setuju meskipun tidak sepakat dalam rapat RT/RW. Hal ini menyebabkan keputusan yang diambil tidak mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat.
  3. Membebani Warga yang Baik dan Jujur
    Orang-orang jujur yang berusaha mengungkap kebenaran sering kali dianggap “tidak tahu sopan santun” atau bahkan mendapat tekanan sosial. Akibatnya, mereka kehilangan dukungan dari warga lain.
  4. Menciptakan Fenomena “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”
    Aturan dan kritik lebih sering diterapkan kepada warga biasa, sementara pelanggaran oleh pihak yang berkuasa atau tokoh masyarakat dibiarkan begitu saja. Fenomena ini melahirkan ketidakadilan yang sulit diatasi.

Ketidakjujuran di Masyarakat akibat Budaya Ewuh Pakewuh

Budaya ewuh pakewuh yang terlalu dominan sering kali menciptakan pola ketidakjujuran yang berulang dalam masyarakat. Beberapa contohnya meliputi:

  1. Ketidakterbukaan dalam Pengelolaan Dana RT/RW
    Banyak warga segan mempertanyakan penggunaan dana, meskipun ada kecurigaan terhadap ketidakwajaran. Akibatnya, transparansi menjadi sulit diwujudkan.
  2. Penyelesaian Konflik yang Tidak Adil
    Konflik antarwarga sering diselesaikan dengan kompromi yang tidak sepenuhnya adil, terutama jika pihak yang lebih kuat secara sosial atau ekonomi terlibat.
  3. Pemimpin yang Tidak Kompeten Tetap Berkuasa
    Karena warga segan mengkritik atau menolak, pemimpin RT/RW yang kurang kompeten sering kali tetap menjabat tanpa adanya evaluasi yang objektif.

Peran Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama dalam Budaya Ewuh Pakewuh

Tokoh masyarakat dan tokoh agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk norma sosial di lingkungan RT dan RW. Namun, jika mereka menunjukkan sikap yang bias terhadap kebenaran, kejujuran, dan keadilan, dampaknya bisa sangat merugikan:

  1. Bias dalam Menyelesaikan Konflik
    Tokoh masyarakat sering kali memilih untuk “mengamankan” kepentingan pihak tertentu, terutama yang memiliki pengaruh besar, dengan mengorbankan pihak yang lebih lemah.
  2. Mengabaikan Kejujuran demi Harmoni Palsu
    Demi menjaga keharmonisan semu, tokoh agama atau tokoh masyarakat sering kali mengabaikan pentingnya transparansi dan kejujuran, bahkan ketika itu berarti membiarkan ketidakadilan berlangsung.
  3. Kurangnya Keteladanan dalam Menegakkan Keadilan
    Ketika tokoh masyarakat atau tokoh agama tidak bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak berpengaruh, mereka kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan gagal menjadi teladan yang baik.

Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif Budaya Ewuh Pakewuh

Agar budaya ewuh pakewuh tidak terus menjadi hambatan dalam kehidupan sosial, beberapa langkah dapat diambil:

  1. Mendorong Transparansi di Tingkat RT dan RW
    Semua keputusan dan pengelolaan dana harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan seluruh warga untuk memastikan keadilan.
  2. Menguatkan Keberanian Berpendapat
    Musyawarah warga perlu menjadi ruang yang aman bagi semua orang untuk menyampaikan pendapat tanpa takut akan tekanan sosial.
  3. Peningkatan Kapasitas Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama
    Tokoh masyarakat dan agama harus diberikan edukasi tentang pentingnya menegakkan keadilan dan kebenaran tanpa memihak.
  4. Mengutamakan Etika dalam Kritik
    Kritik harus disampaikan dengan cara yang santun namun tegas agar pesan diterima tanpa merusak hubungan sosial.
  5. Menciptakan Kepemimpinan yang Berintegritas
    Pemilihan pengurus RT/RW perlu didasarkan pada kompetensi dan integritas, bukan hanya rasa sungkan atau hubungan pribadi.

Kesimpulan

Budaya ewuh pakewuh adalah pedang bermata dua dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam konteks RT dan RW, budaya ini lebih sering membawa dampak negatif, terutama bagi mereka yang jujur dan berprinsip. Ketidakjujuran yang terus berulang, bias dalam penyelesaian masalah, dan fenomena “tajam ke bawah, tumpul ke atas” adalah beberapa dampak nyata dari penerapan budaya ini yang tidak seimbang.

Tokoh masyarakat dan tokoh agama, sebagai figur yang dihormati, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan pengelolaan budaya ewuh pakewuh yang bijak, masyarakat dapat tetap menjaga kesopanan tanpa mengorbankan prinsip kejujuran dan keadilan. (DS)

Add a Comment