Asal Usul Nama Jembatan Kereta Api Bingbin yang Menghubungkan Serpong – Cisauk

Jembatan kereta api Bingbin, yang menghubungkan wilayah Serpong dan Cisauk, memiliki nama yang unik sekaligus menyimpan cerita menarik. Nama “Bingbin” menjadi salah satu istilah ikonik yang diwariskan oleh sejarah dan budaya masyarakat sekitar. Berikut ini adalah eksplorasi asal-usul nama tersebut yang bisa jadi terkait dengan bahasa lokal, pengaruh Tionghoa, hingga masa kolonial Belanda. 

KRL Arah Rangkasbitung dan Tanah Abang Bertemu (Foto @Cisauk.Update)

1. Bingbin dari Bahasa Lokal

Dalam tradisi masyarakat setempat, penamaan lokasi sering kali didasarkan pada ciri khas suara, aktivitas, atau fenomena yang menonjol. 

Suara Kereta: Kata “Bingbin” mungkin berasal dari onomatope atau tiruan suara gemuruh rel kereta api ketika kereta melintas di atas jembatan. Dalam logat lokal, suara bising ini bisa ditangkap sebagai “bing-bing,” yang kemudian menjadi nama jembatan tersebut. 

Pemberian Nama Praktis: Banyak nama tempat di Indonesia yang muncul dari kebiasaan menyebut sesuatu dengan istilah yang mudah diingat. Masyarakat setempat mungkin mengasosiasikan nama tersebut dengan pengalaman sehari-hari saat jembatan ini pertama kali digunakan. 

2. Pengaruh Bahasa Tionghoa 

Indonesia memiliki sejarah panjang interaksi dengan komunitas Tionghoa, termasuk di wilayah Tangerang yang dikenal sebagai pusat peranakan Tionghoa. Nama “Bingbin” kemungkinan berasal dari bahasa Mandarin atau dialek Tionghoa lainnya: 

“Bing” (兵): Dalam bahasa Mandarin, “Bing” berarti prajurit atau penjaga. Bisa jadi nama ini diberikan karena lokasi jembatan berada di wilayah strategis pada masa itu, mungkin berfungsi sebagai jalur logistik yang dijaga ketat. 

“Bin” (滨): Kata ini berarti tepi sungai atau wilayah dekat air. Jika digabungkan, “Bingbin” dapat merujuk pada suatu area yang strategis di dekat sungai atau tepi perlintasan kereta. 

Penamaan ini mungkin terjadi karena komunitas Tionghoa pada masa itu memainkan peran penting dalam perdagangan dan pengembangan infrastruktur, termasuk jalur kereta api. 

3. Pengaruh Bahasa Belanda

Jembatan Bingbin kemungkinan dibangun pada masa kolonial Belanda, sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Nama ini bisa jadi hasil transliterasi atau penyesuaian istilah Belanda: 

“Bing” dari “Bingen”: Dalam bahasa Belanda, “Bingen” dapat merujuk pada sesuatu yang tertutup atau dibentengi. Nama ini mungkin digunakan untuk menggambarkan struktur kokoh jembatan yang melindungi jalur kereta api. 

“Bin” dari “Binne”: Dalam konteks transportasi, “Binne” sering digunakan untuk menggambarkan bagian dalam atau wilayah tertutup. Jembatan ini mungkin awalnya memiliki nama teknis yang terkait dengan fungsi atau desainnya dalam bahasa Belanda, lalu mengalami perubahan pelafalan sesuai lidah lokal. 

Perkiraan Waktu Pembuatan Jembatan Bingbin

Jalur kereta api yang menghubungkan Serpong dan Cisauk mulai dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda sekitar 1900-an. Infrastruktur ini merupakan bagian dari ekspansi jalur Staatsspoorwegen (SS) yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kopi, dan hasil tambang dari Banten menuju pelabuhan Batavia. Jembatan Bingbin kemungkinan selesai dibangun pada periode awal abad ke-20, seiring dengan selesainya jalur kereta di wilayah ini. 

Nama “Bingbin” adalah kombinasi dari pengaruh lokal, budaya Tionghoa, dan sejarah kolonial Belanda. Dari segi suara, lokasi, hingga istilah teknis, nama ini mewakili lapisan sejarah yang membentuk identitas jembatan tersebut. Dibangun lebih dari seabad lalu, Jembatan Bingbin kini menjadi bagian penting dari jalur KRL Commuter Line, sekaligus simbol koneksi antara masa lalu dan masa kini.   (DS)

Perjalanan KRL Rangkasbitung – Tanah Abang (Foto @Cisauk.Update)

Bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda memiliki cerita lain tentang jembatan ini? Mari berbagi di kolom komentar! 😊 

Add a Comment