Mengapa Ketua BUMDes dan Ketua Kopdes Ditunjuk oleh Kepala Desa?

— Sebuah Catatan Lapangan tentang Dinamika Kepemimpinan Ekonomi Desa

Dalam beberapa tahun terakhir, saya semakin sering mendengar keluhan dari warga desa mengenai proses penunjukan Ketua BUMDes dan Ketua Koperasi Desa. “Kenapa tidak dipilih langsung saja?” “Apa tidak lebih demokratis kalau warga ikut menentukan?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar muncul, apalagi ketika masyarakat mulai sadar akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lembaga ekonomi desa.

Namun, ketika kita membuka lembar demi lembar regulasi dan melihat realitas lapangan, jawabannya ternyata tidak sesederhana “pilih atau tunjuk”. Ada dinamika yang lebih dalam antara hukum, budaya desa, dan praktik administrasi.

Mari kita uraikan secara perlahan dan jelas.


🟦 1. BUMDes: Memang Dirancang untuk Ditunjuk, Bukan Dipilih

BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) bukanlah organisasi masyarakat atau perkumpulan. Ia adalah lembaga usaha resmi yang berada di bawah struktur Pemerintahan Desa, mirip dengan BUMN versi desa.

Dasar hukumnya apa?

  • UU Desa No. 6 Tahun 2014
  • Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2021 tentang BUMDes

Regulasi negara tegas:
➡️ Kepala Desa memiliki kewenangan menetapkan Penasihat BUMDes dan menetapkan pengurus operasional BUMDes.

Itu artinya, mekanisme utamanya adalah penunjukan, bukan pemilihan langsung.

Kenapa harus ditunjuk, bukan dipilih?

1. Karena BUMDes bagian dari Pemerintah Desa

Jika koperasi adalah organisasi rakyat, maka BUMDes lebih mirip lembaga pemerintah.
Akibatnya, struktur kepemimpinannya mengikuti pola “top-down”.

2. Karena tanggung jawab langsung ke Kades

Kalau BUMDes rugi, salah kelola, atau tersangkut masalah hukum—yang pertama dicari bukan pengurusnya, tapi Kades.
Logikanya: kalau beban tanggung jawab ada pada Kades, maka pemilihan orang kepercayaan adalah hal yang tak terhindarkan.

3. Demi profesionalitas, bukan popularitas

Di desa, pemilihan umum sering sarat dinamika politik. Bisa muncul tekanan, konflik antar kelompok, bahkan gesekan antar dusun.
BUMDes butuh pengelola yang ahli manajemen, bukan sekadar disukai warga.

4. Efisiensi waktu dan anggaran

Memilih ketua lewat pemilu kecil butuh:

  • Panitia
  • Kertas suara
  • Sosialisasi
  • Tempat pencoblosan
  • Pengamanan
    BUMDes ingin bergerak cepat. Proses panjang bisa menghambat operasional usaha.

Singkatnya:

BUMDes = lembaga pemerintah → wajar ditunjuk.


🟦 2. KOPERASI DESA: Seharusnya Dipilih Anggota, Bukan Ditunjuk

Nah, di sinilah sering terjadi miskonsepsi di tingkat desa.

Berbeda dengan BUMDes, koperasi adalah lembaga masyarakat berbasis anggota.
Ia bukan bagian dari pemerintah dan bukan milik Kades.

Dasar hukumnya jelas:

  • UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
  • PP 7 Tahun 2021
  • Permenkop UKM No. 9/2018

Dalam koperasi, pemilik tertinggi adalah ANGGOTA, bukan Kepala Desa.

Maka aturan bakunya:

➡️ Ketua koperasi dipilih dalam RAT (Rapat Anggota Tahunan)
➡️ Kades tidak boleh menunjuk ketua koperasi

Lalu mengapa di banyak desa, ketua kopdes tetap “ditunjuk” oleh Kades?

Ada beberapa alasan pragmatis yang terjadi di lapangan:

1. Anggapan salah bahwa koperasi = bagian dari desa

Banyak warga, bahkan perangkat desa, belum memahami perbedaan struktural koperasi dan BUMDes.
Akibatnya, koperasi dianggap seperti “unit usaha desa”, padahal bukan.

2. Koperasi besar sering lahir dari program desa

Misalnya:

  • Dana bergulir
  • Bantuan provinsi
  • Bantuan kementerian
    Karena dana lewat pemerintah desa, Kades merasa wajar ikut “mengatur”.

3. Hindari konflik dan percepat pembentukan

Pemilihan anggota membutuhkan:

  • Sosialisasi
  • Keanggotaan yang jelas
  • Mekanisme voting transparan
    Bagi beberapa desa, hal itu dianggap rumit dan memakan waktu.

4. Koperasi belum siap RAT

Ada desa yang koperasinya masih kecil, hanya puluhan anggota, atau malah belum punya anggota aktif.
Karena itulah, Kades menunjuk “ketua awal”, meski secara hukum sebenarnya tidak ideal.

Masalahnya?

Jika ketua ditunjuk Kades, koordinasi memang cepat, tapi:

  • koperasi kehilangan ruh kebersamaan,
  • anggota tidak merasa memiliki,
  • dan legitimasi hukum bisa dipertanyakan.

🟦 3. Dampak Sosial dan Administratif: Lebih Besar dari yang Kita Kira

Ketika struktur kepemimpinan ditentukan dengan pola berbeda, dampaknya luas:

A. Pada BUMDes

Penunjukan bisa memperkuat:

  • stabilitas lembaga
  • kontrol keuangan
  • akuntabilitas kepada pemerintah

Tapi bisa juga memunculkan:

  • kesan BUMDes adalah “milik Kades”
  • minim partisipasi warga
  • potensi konflik jika penunjukan dianggap tidak transparan

B. Pada Koperasi

Kalau ketua dipilih RAT:

  • koperasi lebih sehat
  • anggota merasa memiliki
  • keputusan lebih demokratis

Jika ketua ditunjuk:

  • legitimasi lemah
  • mudah terjadi kritik
  • koperasi jadi alat administrasi desa, bukan alat ekonomi anggota

🟦 4. Dari Kacamata Islam: Amanah Harus pada yang Ahli

Dalam pandangan Islam, amanah itu bukan sekadar jabatan, tetapi pertanggungjawaban akhirat.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya serta menetapkan hukum secara adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Pemimpin yang ditunjuk harus:

  • jujur
  • amanah
  • kompeten
  • mampu memakmurkan umat

Entah itu BUMDes maupun koperasi, prinsipnya tetap sama:
penugasan harus diberikan kepada orang yang paling layak, bukan yang paling dekat.


🟦 Kesimpulan: Penunjukan dan Pemilihan Keduanya Ada Tempatnya

Lembaga Siapa Pemimpinnya? Cara Pengangkatan
BUMDes Direktur/Pengelola Ditunjuk oleh Kepala Desa berdasarkan regulasi
Koperasi Desa (Kopdes) Ketua Pengurus Dipilih oleh Anggota dalam RAT, bukan ditunjuk Kades

Singkatnya:

  • Penunjukan ketua BUMDes = benar secara hukum.
  • Penunjukan ketua koperasi = tidak sesuai dengan aturan koperasi.

Add a Comment