Budaya Bambu, Budaya Kita
|Budaya Bambu, Budaya Kita
Kali kedua Saya hadir di acara yang bertemakan bambu. Sejak beberapa bulan yang lalu saat hadir di peresmian Akademi Bambu Nusantara (ABN) di Serpong dekat Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendikian dan di lanjutkan pada hari Rabu ( 7 Des 2016) di selenggarakan di Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berlokasi dekat Stasiun Palmerah. Sebuah akses yang sesungguhnya di permudah antara Serpong dan Palmerah dengan menggunakan transportasi KRL (Kereta Rel Listrik). Sehingga Saya dari Serpong dapat tepat waktu hadir di acara tersebut pada jam 08.30 wib.
Acara bertemakan “Sarasehan Forum Persaudaraan Pencinta Bambu” dalam rangka Hari Bambu Indonesia yang di dibuka langsung oleh Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, mewakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Memang ini janji beliau yang Saya dengar langsung pada saat di sela-sela penanaman sejumlah jenis tanaman bambu di Akademi Bambu Nusantara (ABN) bersama Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmi Diany, yang berkeinginan mewujudkan Kota Tangsel sebagai pusat bambu dunia pada 2019. Namun pada acara kali ini Bu Airin biasa dipanggil akrab oleh warga Kota Tangsel tidak dapat hadir dan di wakili oleh Mukkodas Shuhada selaku pendiri ABN dan juga sebagai Sekretaris Dinas Tata Kota Bangunan dan Pemukiman (DTKBP) Kota Tangsel untuk mempresentasikan tentang Model Water from City dengan Bambu di Kota Tangsel.
Jika kita paham akan filosofi dari bambu tentunya akan mengerti sekali, apa saja makna yang sesungguhnya dari bambu. Saat sebelum di bacakan doa oleh Jatnika, beliau merupakan salah satu tokoh rumah bambu yang sangat peduli dengan keanekaragaman dan pengelolahan bambu, menyampaikan bahwa semua nama alat musik selalu berakhiran “….ng” seperti Angklung, Calung, Suling, Karinding dan lain-lain tentunya hal ini di maknakan dalam budaya kita dahulu dalam doa yang berarti ketenangan dan kedamaian. Penghijauan yang telah dilakukan di sekitar sungai sebagai penahan tebing. Bambu yang ditanamnya sudah merimbun di bantaran Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Ciluwer. Di kampung halamannya, Jatnika menanam lebih dari 10 hektar bambu di tepian sungai Cimande. Tanaman bambu tersebut tak sekadar mencegah erosi sungai, tapi juga memberi kesejahteraan bagi warga sekitar.
Sesungguhnya generasi muda Indonesia sudah sangat aktif berkarya nyata dalam pengembangan berbagai karya bambu yang di olah menjadi berbagai macam jenis barang yang bisa di gunakan sehari-hari. Juga saat itu saya sempat bertemu dengan Kang Agus yang dikenal dengan karya Topi Bambu serta ada beberapa pengembangan lainnya seperti sabun yang diolah dari unsur serbuk arang bambu. Topi bambu menjadi ciri khas di sarasehan kali ini, karena semua narasumber menggunakan topi bambu sebagai souviner yang bisa langsung digunakan. Agar komunikasi terus dengan para peserta sarasehan, saya berinisiatif membuat WAG Sarasehan Bambu, agar kita senantiasa dapat berdiskusi tentang bambu. Saat sesi pertanyaan Kang Agus Topi Bambu mengusulkan adanya industri kreasi bambu di Indonesia. Semoga harapan generasi muda dapat di wujudkan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bagian dari sinergi dan kolaborasi dalam pelestarian budaya bambu, budaya kita.
Namun tak kalah penting lagi dari semua narasumber yang ada bahwa kita memiliki Prof Elizabeth Anita Widjaja, Satu-satunya Ahli Taksonomi Bambu di Indonesia. Tiga Puluh Tahun Temukan 80 Varian Jenis tanaman bambu ternyata banyak. Setidaknya ada 80 jenis seperti hasil penelitian “doktor bambu”. Dia termasuk peneliti langka di Indonesia. Di Indonesia tidak mudah selain dana minim, penelitiannya tentang bambu sempat dipandang sebelah mata. Sebab, pamor bambu masih kalah jika dibandingkan dengan kayu. Pemerintah juga kurang memberikan perhatian terhadap upaya pelestarian dan penelitian bambu. Beliau juga sempat mengkritisi salah satu pembicara bahwa bambu juga termasuk jenis rumput-rumputan sehingga dapat di tanam dalam satu areal dan tidak saling mengganggu.
Dari sarasehan ini banyak pengetahuan yang saya dapat bahwa bambu mampu meredam suara, penyerap karbondioksida, sekaligus penghasil banyak oksigen. Hutan bambu mampu menyerap 62 ton CO2 per ha per tahun. Bambu mampu melepaskan oksigen 35% lebih banyak daripada pohon lain. Sebuah studi di China menunjukkan hutan bambu mampu menambah air bawah tanah 240% lebih besar dibandingkan hutan pinus. Bambu juga memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat sebagai tanaman paling cepat tinggi di muka bumi. Kecepatan tumbuh bambu sungguh mengesankan. Bambu Budha (Phyllostachys pubescens) , misalnya, mampu melesat setinggi 1,17 m dalam waktu 24 jam. Laju tumbuh itu hanya sedikit kalah dibandingkan pertumbuhan fantastis Japanese Giant Timber (Phyllostachys bambusoides) yang bertambah tinggi 1,19 m/hari menyebutkan sebatang bambu bisa mencapai panjang 15 kilometer dan diameter 30 cm saat berumur 35 tahun.
Budaya bambu adalah budaya kita. Sejak dulu, orang Indonesia memanfaatkan aneka bambu yang ramah dengan lingkungan hidup sebagai pelestarian lingkungan sekitarnya. Tepi sungai akan terpelihara dengan baik dan alamia terhindar dari longsor dan juga berfungsi menjernihkan air. Disamping itu ada jenis bambu muda seperti rebung yang bisa diolah menjadi makanan berselera untuk memenuhi kekayaan kuliner Nusantara. Generasi sekarang sangat enggan memanfaatkan bambu, lebih menggemari alat lainnya yang terbuat dari kayu atau aneka logam. Perlu sekali kita melestarikan budaya bambu di masa depan sebagai budaya bangsa Indonesia yang bercirikan pelestarian bambu di masa depan. Presiden Bambu, Heru Suliatomo juga menyampaikan beberapa rekomemdasi tindak lanjut untuk pelestarian bambu Indonesia. Yuk…buat semua generasi, kita kembali ke budaya kita bahwa budaya bambu adalah yang terbaik dan menjaga kelestarian alam.