12 Tahun Tanpa Kantor Desa: Hukum, Etika, dan Dampaknya
|Bayangkan ini: sudah lebih dari 12 tahun desa kita seharusnya memiliki kantor desa resmi, tetapi nyatanya? Tidak ada kemajuan. Bangunan yang diimpikan untuk mempermudah pelayanan masyarakat masih sebatas angan. Yang lebih menyedihkan, pemimpin desa seperti kepala desa, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat, bahkan tokoh agama, justru terlihat bungkam. Pertanyaannya, apakah ini murni karena kurang perhatian, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik layar? Dan, jika mereka hanya diam, apakah itu juga termasuk pelanggaran hukum?
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Penyakit Lama yang Terus Hidup
KKN, alias korupsi, kolusi, dan nepotisme, adalah masalah klasik yang sering menghambat kemajuan desa. Salah satu contohnya adalah proyek pembangunan kantor desa yang direncanakan sejak 2021, tapi hingga kini, 2025, masih juga belum selesai. Ada yang aneh, bukan? Ini membuka pertanyaan: apakah ada penyalahgunaan dana desa? Jika benar, kepala desa dan ketua BPD jelas harus bertanggung jawab atas transparansi pengelolaan anggaran.
Dasar Hukum untuk Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2001) sangat jelas dalam mengatur hukuman bagi pelaku korupsi. Berikut pasal-pasal yang relevan:
- Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara dipidana penjara 4-20 tahun dan denda Rp200 juta-Rp1 miliar.”
- Pasal 3: “Setiap orang yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menyalahgunakan dana desa atau dana negara, dikenakan pidana sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1).”
Praktik kolusi dan nepotisme juga tidak lepas dari jerat hukum. Pasal 11 UU KPK mengatur pelanggaran ini dengan tegas.
Hukum Perdata dan Etika: Dampak yang Tak Bisa Diabaikan
Bagi masyarakat yang merasa dirugikan, ada jalan hukum yang bisa ditempuh. Pasal 1365 KUHPerdata memberikan hak untuk menggugat pihak yang melakukan pelanggaran hukum. Dari sudut pandang etika, tokoh masyarakat dan agama memiliki tanggung jawab moral yang besar. Dalam Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar jelas mengharuskan pemimpin untuk mencegah penyimpangan, bukan malah membiarkannya.
Risiko Diam: Bukan Solusi, Malah Masalah
Mungkin ada yang berpikir, “Diam saja, nanti juga selesai sendiri.” Tapi tidak sesederhana itu. Pasal 221 KUHP mengatur sanksi bagi siapa pun, terutama pejabat, yang mengetahui tindak pidana tapi memilih bungkam:
- Pasal 221 ayat (1): “Barang siapa mengetahui adanya perbuatan pidana tetapi tidak memberitahukannya, dipidana penjara hingga 4 tahun.”
- Pasal 221 ayat (2): “Jika pelakunya adalah pejabat, pidana dapat diperberat hingga 6 tahun.”
Lapor, Jangan Ragu!
Kalau Anda merasa ada yang tidak beres, jangan takut untuk melapor. Ada beberapa opsi:
- Kepolisian: Mereka berwenang menyelidiki dan menyidik tindak pidana.
- Kejaksaan: Bertugas menuntut pelaku dan membawa kasus ke pengadilan.
- KPK: Fokus menangani kasus korupsi pejabat publik.
- Inspektorat Kabupaten: Melakukan audit atas pengelolaan anggaran desa.
Penutup: Tanggung Jawab Kita Bersama
Masalah kantor desa yang tak kunjung selesai ini bukan sekadar soal bangunan. Ini soal tanggung jawab, moral, dan keberanian untuk melawan penyimpangan. Kepala desa, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat, dan tokoh agama harus sadar bahwa sikap diam bukanlah solusi. Sebagai warga, Anda juga punya hak untuk memastikan hak-hak Anda terpenuhi. Jadi, jangan ragu untuk bersuara atau melapor jika ada yang salah. (DS)
Diam itu emas? Tidak dalam kasus ini. Diam bisa jadi dosa, baik di mata hukum maupun moral.